Dunia kampus sebagai kawah candradimuka kemahasiswaan merupakan tempat pengkaderan calon para pemimpin bangsa. Sebagai mahasiswa sudah sepatutnya kita mengetahui kemana arah pergerakannya, fungsi dan perannya sebagai kaum intelektual bagi semua kalangan, setidaknya memiliki nilai tambah bagi kalangan masyarakat.
Melihat eksistensi gerakan mahasiswa pada era globalisasi saat ini tidak ubahnya dengan gerakan mahasiswa pada jaman dulu hingga sekarang. Pada jaman dulu mahasiswa sangat difungsikan dalam berbagai kegiatan masyarakat. Mereka dibangga-banggakan di kalangan masyarakat khususnya di lingkungannya.
Namun gerakan mahasiswa pada arus kehidupan saat ini seakan melupakan Tridarma Perguruan Tinggi yang merupakan ideologinya. Sehingga hal ini menjadi pandangan negative masyarakat atas keberadaan fungsi dan peran mahasiswa sebagai Agent of Change.
Sejarah telah menyaksikan berbagai peristiwa besar di dunia yang tidak lepas dari actor intelektual di belakangnya. Kaum intelektual yang diwakili masyarakat kampus termasuk juga mahasiswa sering menjadi penggagas utama dalam setiap perubahan (Deddy Yanwan Elfany).
Pramoednya Ananta Toer, pernah mengatakan, "Semua yang terjadi di bawah kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berfikir". Dan mungkin yang dimaksud Pram adalah kalangan intelektual, mereka yang berfikir dan hidup dalam gagasan-gagasan. Selain itu Noam Chomksy dalam The Responsibility of Intellectuals mengatakan, seorang intelektual dengan status istimewanya berkewajiban memajukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian.  Yang cenderung melakukan hal ini adalah actor mahasiswa atau aktifis kampus yang peduli dengan berbagai kondisi kegelisahan masyarakat, aspirasi yang tercapai, pemerintahan yang lamban, dan krisis demokrasi, sehingga mahasiswa yang memiliki jiwa kepedulian terhadap apa yang terjadi mereka akan mengambil tindakan memberikan solusi.
Lain halnya dengan mahasiswa yang apatis, seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi. Melihat memorandum sejarah gerakan mahasiswa mereka melakukan tuntutannya dengan berbagai cara untuk mengharapkan perubahan atas tuntutannya. Apabila kita belajar dari sejarah umumnya mereka melakukan tuntutan dengan cara melakukan aksi, baik aksi massa, aksi dialogis, aksi solidaritas dan lain sebagainya.
Tokoh revolusi Islam Ali Syariati menegaskan intelektual harus memainkan peran strategis mencerahkan lapisan masyarakat yang tertinggal. Ali Syariati mengungkap tugas intelektual adalah sebagai Rausyan Fikr, mencerahkan lapisan masyarakat yang terpinggirkan. Pada akhirnya bukanlah tidak mungkin kondisi yang diidealkan dalam konsep Civil Society atau Masyarakat Sipil bias tercapai.
Sebagaimana kata Fahri Hamzah, masyarakat sipil berperan kritis sebagai control terhadap domain politik Negara dan juga control terhadap domain ekonomi. Dengan begitu, perlindungan terhadap rakyat baik individu maupun kelompok oleh kesewenang-wenangan dapat tercapai. Â Pergerakan mahasiswa seperti inilah yang dianggap dapat memberikan solusi perubahan terhadap tuntutan mahasiswa.
Ernest Mandel mengeluarkan sebuah konsepsi tentang pergerakan mahasiswa. Ia menyebutkan perlu adanya integrasi yang tidak terpisahkan antara teori dan praktek. Dalam hal ini teori dan praktek adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aksi tanpa teori tidak efisien atau tidak dapat melakukan perubahan yang mendasar. Begitu pula teori tanpa aksi tidak akan mendapat watak ilmiah karena tidak ada jalan lain untuk menguji teori tersebut selain dengan aksi.
Tetapi dengan realita yang ada sekarang, mahasiswa belum maksimal dalam melakukan hal tersebut. Singkatnya, mahasiswa apatis masih terlalu banyak jika dibandingkan dengan mahasiswa yang responsible. Mahasiswa sekarang dibatasi dalam hal berfikir. Karena ditakuti adanya sebuah ancaman mulai dari hilangnya sebuah nilai akademik atau ancaman lain yang bias melunturkan daya kritis mahasiswa itu sendiri. Akhirnya, mahasiswa dilarang kritis.
Jika kita berkaca pada kehidupan kampus saat ini. Masih banyak perdebatan antara mahasiswa satu sama lain tentag sebuah pergerakan. Ada yang mengatakan, bahwa sepatutnya mahasiswa notabene kaum intelektual tidak perlu melakukan aksi. Karena cukup hanya dengan berdiskusi terkait kebijakan-kebijakan isu internal kampus maupun eksternal (politik pemmerintahan). Ada juga yang beranggapan bahwa untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat maupun mahasiswa atau melakukan perlawanan terhadap kebijakan yang merugikan hanya bias dilakukan dengan aksi.
Bila kita hanya mengandalkan teori, itu sama halnya dengan kita berusaha sampai ke tempat tujuan dengan kaki terpincang. Serta hasil kajian-kajian dan diskusi yang dihasilkan hanya akan menempel di dinding-dinding ruangan diskusi atau menjadi setumpukan arsip. Untuk itu ujung dari sebuah kajian dan diskusi adalah aksi. Walaupun pada masa ini, perkembangan teknologi begitu canggih, dimana setiap tulisan bias dengan mudah disebarkan dan dibaca oleh setiap orang. Tetapi kita tidak boleh mengesampingkan eksistensi dari sebuah aksi karena, sejujurnya kekuatan dari sebuah aksi masih begitu besar dalam menuntun sebuah perubahan.Â
Begitupun bila kita hanya mengandalkan aksi, jangan berharap akan terciptanya sebuah perubahan. Untuk menuntut suatu perubahan seyogyanya kita mengetahui apa yang akan kita rubah dan apa alasan untuk merubah. Karena landasan dari sebuah aksi adalah teori. Kita harus melakukan kajian-kajian dan diskusi terlebih dahulu sebelum melakukan aksi. Suatu aksi yang tercipta tanpa kajian hanya dipenuhi oleh nafsu emosi semata. Ibarat seseorang yang mau pergi ke kampus, tetapi dia tidak mengetahui jaan menuju kampus itu, maka pada akhirnya ia akan tersesat.
Selain hal di atas terdapat suatu hal lainnya yang menyebabkan pergerkan mahasiswa sekarang cenderung menurun. Yakni berkurangnya minat mahasiswa untuk berdiskusi dan mengkaji isu-isu terkini.
Sebuah lembaga kemahasiswaan yang menaungi seluruh civitas akademi harus berusaha untuk menghidupkan budaya literasi dalam kampus. Hal lain yang membuat menurunnya sebuah pergerakan mahasiswa banyaknya yang terpengaruh propaganda tentang sebuah aksi. Mereka menganggap aksi atau demontrasi merupakan suatu hal yang anarki, tidak mencerminkan sifat intelektual seorang akademisi. Tetapi bila semua jalan untuk melakukan advokasi tertutup, maka jalan terakhir aalah aksi. Oleh karena itu, tidak perlu anti dengan yang namanya aksi.
Akan tetapi dalam masalah aksi ini, masih terdapat mahasiswa yang bertindak sok pahlawan padahal sesungguhnya ia seorang hipokrit yang hanya mengejar eksistensi pribadi masing-masing. Biasanya mahasiswa seperti ini melakukan sebuah aksi tanpa melakukan diskusi atau kajian terlebih dahulu. Lalu, ujung-ujungnya melakukan demontrasi yang anarkis. Menyebabkan rasa simpati dari masyarakat terhadap sebuah aksi berubah menjadi antipasti. Padahal subtansi dari aksi adalah untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat. Bila suatu aksi sudah kehilangan kepercayaan dan harapan dari masyarakat, maka jangan harap perubahan itu terjadi.
Dalam hal ini sepatutnya mahasiswa menghentikan perdebatan tentang mana yang baik dalam melakukan pergerakan. Apakah teori ataupun aksi karena dalam menciptakan sebuah gerakan revolusioner tidak ada yang namanya pemisahan antara teori dan aksi.Â
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H