Soto Sragen dengan Konsep Jawa begitu menggoda, betah berlama-lama. Ya, mungkin kalimat ini pantas tersemat dalam kulineran kami.
Pengalaman Pertama MenikmatiSepekan lalu, tepatnya pada 10 November 2024, suami mengajak makan pagi di Warung Soto Sragen.
"Jauh banget. Apa nggak ada yang dekat?" jawab saya asal-asalan.
Saya sih cuma menggoda suami, sebab tidak mungkin kami akan pergi ke kota tersebut hanya demi menyantap semangkuk makanan berkuah.
"Itu lho Mi..., yang dekat Mbah Ruwet. Kata Mbokde, ada warung soto anyar dan laris banget,"
"Oh...ada warung baru? ayo kita coba."
Kami memang jarang keluar, lebih-lebih kawasan yang di maksud suami berada di bagian timur, sekira 1 km dari rumah.
Keluarga kami lebih sering ke kota jika ingin menikmati kuliner, atau sekadar berbelanja.
Pagi yang sejuk, bermotor berduaan meliwati area persawahan, dengan tangan melingkar di pinggangnya begitu asyik. Sesekali kami bercanda layaknya pasangan muda pada umumnya. Hehe...
Terkadang bertegur sapa jika berpapasan maupun melewati tetangga yang beraktivitas di sawah.
Dalam hitungan menit kami hampir tiba. Ketika hendak menyeberang perlintasan KA Mbah Ruwet, seorang penjaga menghentikan deru kendaraan seraya melempar senyum ramah.
"Kendel rumiyen, Pak. Kretone bade lewat."
"Njih, Pak," balas suami dengan senyum ramahnya. Kami sempat mengobrol sesaat menunggu kereta lewat.Â
Obrolan kami tentang warung yang berjarak beberapa meter dari perlintasan kereta. Kata penjaga palang pintu, Soto Sragen sangat laris,harga murah.Â
pabrik dan warga sekitar datang silih berganti mampu menunjang pemasaran. Maka tak heran jika pukul 11:00 siang menu telah habis.
Banyaknya karyawan**
Siapa sangka, jika kawasan pertanian pinggir ril Kereta Api Mbah Ruwet tersebut telah disulap menjadi tempat berniaga.Â
Ada beragam toko yang menawarkan sejumlah kebutuhan hidup, mulai minimarket, hingga beragam kulineran.
Salah satunya warung makan yang menjadi tempat berkumpulnya penikmat kuliner tradisional.Â
Ya, di tempat tersebut telah dibuka warung Soto dengan konsep adat Jawa (Joglo) bertuliskan Soto Sragen.
Warung tersebut berdiri di tempat strategis, sekalipun di sisi belakang gerai merupakan jalan Kereta Api, tetapi bagian depan dan sebelah kanan merupakan jalan utama mengarah ke kota.
Selain itu, di tempat tersebut menjadi kawasan industri (pabrik garment dan lain sebagainya). Maka tak heran jika warung nampak ramai pengunjung.
Sekilas hidung saya mencium aroma khas soto yang yang menyegarkan. Warung tersebut menawarkan dua jenis menu, yakni soto ayam kampung dan soto sapi.
Saya memesan dua mangkuk soto ayam kampung beserta teh hangat sesuai instruksi suami.
Warung soto Sragen disajikan dalam gerobak angkringan yang menarik. Dalam hal ini menjadikan ikon dari kota asal. Sebab, pada umumnya penjual soto kebanyakan memakai nama sang penjual.
Dengan menamai soto daerah asal, maka nama tersebut mudah diingat serta bisa dikenal masyarakat secara luas.
Ketika pesanan disajikan mas pelayan, dalam semangkuk soto ayam kampung terdiri nasi putih berkuah bening.Â
Berhias topping suwiran ayam, potongan tomat, kecambah ijo panjang, mi bihun, keripik kentang bertabur bawang goreng dan seledri.
Terlihat kuahnya bening, saya mengambil sendok untuk mencicipi rasanya, sebelum menambahkan sambal serta perasan jeruk nipis.
"Sotone enak, Mi," kata suami lirih.
"Apa iya?" tanya saya sembari mengaduk soto. Ya, sekalipun kuah melimpah tetap saja harus diaduk agar bumbu lebih menyatu.
Hemmm....! Ternyata beneran enak. Pas di lidah kami. Gurih dan segar beradu di mulut, dan saya tidak perlu menambahkan butiran kacang asin. Cukup dua tetes kuah sambal.
Ya, biasanya jika menyantap soto bumbu kurang pas, saya menambahkan butir kacang asin guna menunjang rasa lebih mantap.
Beragam gorengan sebagai pendamping soto, kami memilih perkedel kentang, tempe mendoan serta tahu goreng yang masih hangat.
Biasanya jika menyantap soto bumbu kurang pas di lidah, saya dan suami selalu menambahkan butiran kacang asin ke dalam mangkuk soto.
Tetapi hidangan di gerai makanan berkuah benar-benar sesuai slogan yang tersemat, yakni seger, murah dan enak.Â
Terbukti ketika saya hendak membayar menu, pemilik soto yang berasal dari kota ikon menu menyebutkan lembar hijau serta koin 500-an. Harga sesuai yang tertera di dinding.
Sehubungan saya mengambil 2 bungkus cemilan kacang bawang, maka makanan kecil tersebut kami jadikan penutup hidangan.
Alunan senandung lagu merdu menemani pengunjung menikmati hidangan. Rasanya makin betah berlama-lama di tempat.
Warung jogjo tersebut dilengkapi fasilitas lain berupa 2 tempat cuci tangan yang terbuat dari tanah liat, lengkap dengan sabun cair menempel di tiang rumah.
Sebuah toilet di sisi samping bagian belakang turut melengkapi fasilitas warung.
Pengalaman pertama mencicipi Soto Sragen, kulineran Khas yang menjadi ikon daerah memang menarik, pula kelezatan menu dan segarnya begitu menggoda. Kelak di kesempatan lain saya ingin menjajal hidangan lainnya.
Jika Anda sedang melintas di Kota Klaten, bisa singgah sejenak untuk menikmati segarnya soto serta asrinya area persawahan yang sejuk.
Sekian dari saya, terima kasih sudah singgah. Salam kuliner.
#SotoSragen
#Kulineran
#ArtikelFoodie
#Klaten,12November2023
#Tulisanke-620
#MenulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H