Negara Indonesia mempunyai beragam kebudayaan yang menjadi identitas suatu daerah.
Adat yang harus dihormati, dihargai pula dilestarikan secara turun temurun. Orang jawa bilang nguri-nguri Budaya Jawa.
Tradisi atau adat istiadat, di setiap daerah tentu berbeda-beda. Seperti halnya yang terjadi di kota asal penulis.
***
Klaten, merupakan daerah yang diapit antara Daerah istimewa Yogjakarta dan Kota Solo yang masih lekat dengan budaya Jawanya. Begitu juga tentang masyarakat di sekitar, salah satunya kota asal saya masih nguri-uri adat Jawi.
Pada hari Rabu, 30 Maret 2022 lalu, keluarga kecil saya pulang kampung. Sebenarnya hampir setiap akhir pekan mengunjungi ibu dan segenap kerabat.
Namun berbeda dengan hari itu, di kampung sedang ada helatan. Tradisi turun temurun jelang ramadan, yaitu"Nyadran."Â
Tetapi sayang, saya tidak bisa mengabadikan momen tersebut.
Tersebab kepulangan sore jelang senja. Ditambah hujan turun ditempat tinggal saya dan ibu secara bersamaan. Syukurlah, jelang senja sudah reda. Awalnya kami ingin bersama-sama ke makam leluhur..Â
Namun situasi tidak memungkinkan untuk ibu yang sudah sepuh. Jadi saya berdua dengan suami lebih dulu berangkat.Â
Apalagi harus nyadran di dua tempat yang berbeda. Dari pihak saya dan suami. Sehingga tidak bisa mengabadikan salah satu tradisi jelang ramadan.
Nyadran dan Padusan, Dua Tradisi Jelang Ramadan.
Baiklah, mari mengulik tradisi jelang puasa ramadan dari Kota Klaten.
1. Ruwahan identik dengan Nyadran
Nyadran adalah sebuah tradisi unik yang dilakukan masyarakat Jawa secara turun temurun.
Tradisi ini merupakan budaya Jawa dan Islam. Kata "Nyadran" berasal dari kata "Sraddha"Â yang berarti keyakinan.
Dalam kalender Jawa, disebut juga dengan bulan Ruwah. Nyadran dilakukan sebulan sebelum puasa atau tepatnya pada tanggal 15, 20, 23, 25, 27 bulan Ruwah menurut daerah masing-masing.
Nyadran diawali dengan kegiatan membersihkan makam bersama-sama. Pada umumnya di pedesaan. Dalam hal ini diharapkan kita sebagai manusia bisa bergotong royong, saling tolong menolong dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan ziarah kubur bukan semata-mata kita datang ke sebuah pemakaman anggota keluarga, kerabat yang sudah berpulang ke rahmatullah.
Akan tetapi sebagai pengingat bahwa kelak kita juga akan berpulang kehariban-Nya. Kematian adalah jalan kehidupan selanjutnya yang akan dilewati setiap manusia.Â
Dengan melakukan ziarah kubur, setidaknya bisa mempersiapkan diri agar lebih baik dari hari ke hari. Orang Jawa bilang, sakdremo nunggu giliran dipundut pengeran.(sekedar menunggu giliran dipanggil Allah)
Ziarah kubur sebenarnya bisa dilakukan sepekan sekali, atau seperlunya. Tidak hanya dilakukan setahun sekali( jelang ramadan). Namun tradisi nyadran ini sangat berbeda.
Sebab, sebagian orang yang merantau mereka menyempatkan untuk pulang kampung. Agar bisa berkumpul dengan keluarga serta ziarah kubur segenap anggota keluarga.Â
Suasana begitu ramai, hampir menyerupai perayaan Hari Raya Idul-Fitri. Nyadran juga identik dengan masak besar, untuk kenduren.
Kenduren adalah menyantap nasi bersama lauk pauk, ada ayam ingkung, tahu tempe, sayur sambal goreng krecek telur dan lain sebagainya.
Adapula berbagai penganan tradisional(rampatan bisa 3 hingga 7 rupa) rampatan beratri komplit, ada jadah, wajik  kue apem, coro atau cucur dan lain-lain.
Semua hidangan dimasukan dalam "tenong" atau tenongan.
Tenong adalah tempat menaruh makanan yang terbuat dari bambu yang dianyam dengan bentuk bulat.Â
Biasanya digunakan saat ada acara khusus( helatan tradisional di desa untuk membawa nasi golong, berikut sayur, lauk-pauk, penganan dan buah. Kemudian dibawa ke bangsal atau rumah sesepuh desa untuk didoakan.
Baru kemudian disantap bersama layaknya hari raya lebaran. Nyadran Tenongan merupakan wujud syukur masyarakat setempat terhadap limpahan rezeki dari Allah SWT dari tahun ke tahun tetap terjaga.
Â
2. Padusan.
Menjelang ramadan ada tradisi padusan "adus" atau mandi(membersihkan diri dengan cara mandi junub(besar) di kolam renang atau pemandian).
Padusan dilakukan sehari sebelum puasa ramadan. Makna padusan adalah ritual membersihkan diri dari segala kotoran yang menempel di badan dan jiwa, sehingga dalam berpuasa badan bersih jasmani dan rohani.
Dulu, setiap acara padusan paling ramai di umbul Jolotundo yang berada di Desa Gedaren Kecamatan Jatinom Klaten. Banyak yang berdatangan dari daerah sekitar, bahkan luar daerah memanfaatkan ritual tersebut.
Namun semenjak pandemi, mandi ramai-ramai di sebuah kolam hampir tiada. Sebagai gantinya mandi besar di rumah sendiri-sendiri.
Nah itulah dua tradisi yang tak pernah terlewatkan dari masa ke masa. Semoga pandemi segera berlalu, kita bisa berkumpul dan melakukan tradisi seperti dulu lagi. Sekian dari saya, semoga bermanfaat.
Selamat menjalankan ibadah puasa 1443 H, bagi Anda yang menjalankannya. Semoga amal ibadah kita diterima Allah SWT, serta dilipat gandakan dalam setiap kebaikan. Aamiin.
#Artikelyuliyanti
#Tulusanke-298
#Klaten, 02 April 2022
# MenulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H