Setelah makan beliau merasakan sakit teramat sangat. Berbagai upaya kami lakukan, dari memanggil bidan hingga rawat inap di puskesanas terdekat.
Kata bidan, bapak sakit maag. Namun, setelah dirawat sehari semalam tidak kunjung membaik. Hingga pada hari rabu siang harus dirujuk ke rumah sakit terbesar di Klaten.
Saya pun langsung ke rumah sakit, begitu melihat kondisinya, Â benar-benar terpukul. Terlihat napasnya naik turun seakan terasa berat.
Terpasang selang di hidung yang mengeluarkan cairan berwarna cokelat. Kian sedih melihatnya, apalagi saat perawat menganjurkan harus operasi.
Sebab paru-parunya kotor dan bengkak. Perawat mengatakan, meski hasilnya tipis tapi itu bentuk ikhtiar menuju kesembuhan.
Saya menangis tetapi ibu berusaha menenangkan, jangan sampai menitikan air mata di depan bapak.
Setelah bapak niat puasa, pada pukul dua siang beliau dibawa ke ruang bedah.
Saat itulah kondisinya droop, lalu dibawa ke ruang ICU untuk mendapat pertolongan lebih lanjut.
Pukul enam petang, bertepatan waktu kunjung pasien kami menjenguknya silih berganti, memberi dukungan juga doa terbaik.
Pada waktu itu ada dua hal janggal saya rasakan.
Pertama bapak meminta diambilkan minuman yang berada di meja. Jelas di ruangan itu tidak tersedia.
Kedua, tangan bapak melambai-lambai minta dipegang seakan sebagai lambang perpisahan. Perlahan saya menciumi punggung tangannya sebagai tanda hormat, sekaligus permohonan "maaf" karena bibir tidak mampu mengucap.