Hai apa kabar Pembaca Kompasiana yang berbahagia, kita bersua lagi lewat goresan pena di beyond blogging, rumah kita tercinta.
Secara tidak sengaja, kemarin siang saya membuka kiriman dari Whatsapp grup. Sebuah gambar dengan kosa kata apik sarat makna "Filosofi  Ketupat" terkirim pada hari kamis 21, Mei 2021. Gambar tersebut mengusik jemari untuk menari di laman ini.
Lebaran memang sudah berlalu. Namun, tradisi saling memaafkan masih kental takterlewatkan. Seperti halnya kemarin siang, saya silaturahmi ke salah satu kerabat yang tinggal di Kota Gudeg Jogjakarta.
 Suami dan adik ipar menyapa salah satu keluarga yang tinggal berhadapan dengan kerabat kami. Saya pun ikut menangkupkan kedua tangan memberi salam. Kiranya mereka lama takbersua semenjak adik kuliah hingga kini telah menikah.
Meskipun Hari Raya sudah sepekan terlewatkan, namun aneka kue lebaran masih menghiasi meja yang berada di ruang tamu kerabat. Kami pun bercerita panjang lebar dengan Bude kakak ipar dari Ibu mertua.
Kebetulan, beliau sementara waktu tinggal bersama putri ketiganya di Jogja. Asyik kami mengobrol hingga menyinggung soal makan ketupat nan bersejarah penuh filosofi bermakna, kemarin lusa.
Saya pun tertarik untuk menulis artikel tersebut.
***
Sejarah Lebaran Ketupat
Masyarakat Jawa umumnya mengenal dua kali pelaksanaan Lebaran, Hari Raya Idul Fitri dan Lebaran Ketupat.