Pembaca Kompasiana yang dirahmati Allah
Salam hangat selalu
Hari raya idul fitri, sebuah momen untuk bersilaturahmi dengan keluarga pun kerabat tercinta. Kehadirannya ditunggu kaum muslim diseliruh dunia, setelah sebulan menjalankan ibadah puasa.
Namun, adakah di antara pembaca Kompasianer yang mengalami kejadian harus kerja pada waktu semua keluarga tengah asyik berlibur di hari raya?
Baiklah, saya akan berbagi kisah, seputar 'Kerja Saat Lebaran'
Bekerja pada saat lebaran, tentu menyiratkan rasa kecewa sesaat. Coba Anda bayangkan, di saat sanak saudara merayakan lebaran dengan suka cita, namun kita masih sibuk bekerja.
Lalu, bagaimana perasaannya?
Pada awalnya kecewa, hari pertama terbiasa bersama keluarga 'sungkem'Â (minta maaf) pada orang tua. Kemudian silaturahmi ke sanak saudara pun tetangga terdekat. Â Namun, untuk kali pertama hal tersebut harus ditunda karena perbedaan jatuhnya hari raya.
Rasanya sedih, saat di rumah ramai tamu tetangga dekat hingga kerabat jauh pun berdatangan. Namun, kita takbisa berkumpul bersamanya.
Kejadian terakhir 10 tahun yang lalu, melewati Idul-Fitri di negeri tercinta dalam nuansa berbeda. Pada umumnya hari raya sering bersamaan. Namun, pada waktu itu terjadi perbedaan antara Muhammadiyah dengan Pemerintah dan NU.
Dan terjadi pula pada tahun 2006, 2007 dan 2011.( gambar ilustrasi berdasarkan data yang diolah lembaga riset, loop Indonesia.(seperti gambar di atas)
Akhirnya pada waktu itu, Ibu dan saudara yang lainnya merayakan lebaran lebih awal, yaitu pada tanggal 30 Agustus 2011, sedangkan saya di tanggal 31 Agustus 2011.
Saya pun tidak mempermasalahkan hal tersebut terlalu serius, tetap bekerja melayani pembeli dengan hati ceria.
Karena, sebentar lagi bersama warga setempat bersama-sama menganggungkan Asma Allah, dengan bertakbir menyambut hari raya tiba.
Keesokkan harinya menjalankan shalat idul fitri di Masjid besar.
Untuk kali pertama hati tergetar dibuatnya, kala semua jemaah menggaungkan takbir teriring irama beduk yang menggema. Takterasa air mata menitik lembut tanda tunduk nan bahagia.
Sebuah kebahagian tersendiri waktu itu, bersama para warga setempat merayakan hari kemenangan sarat makna.
Jujur, itu kali pertama saya melihat beduk Masjid yang jarang ditabuh. Hanya pada hari raya dan peringatan tertentu saja. Saya pun merasa bersyukur, atas karunia terindah yang belum pernah terasa saat lebaran di kampung.
Setiap kejadian telah diatur Allah, pasti ada hikmah di balik sebuah peristiwa. Begitulah saya menyikapi dan menyimpulkan kala harus merayakan hari raya takbersama keluarga, Allah telah mengganti sebuah kebahagian yang lain.
Itulah sekelumit kisah penulis, semoga bisa kita petik hikmahnya, khususnya pada diri saya sendiri. Semoga bermanfaat, selamat menyonsong Hari Raya Idul Fitri 1442-H Mohon maaf lahir batin.
Tulisan ke-98. Klaten, 08 Mei 2021