Mega merah tersamar di sela rerimbun pohon. Sebentar lagi sinar matahari hilang, aku masih mencoba menenangkan rombongan agar tidak panik. Aku banyak belajar teori mengenai kepecintaalaman, ilmu medan, topografi, SAR, dan semua yang menunjang pekerjaan dari hobiku ini. Katanya, panik akan memperburuk situasi karena keputusan diambil melalui proses berpikir instan.
Kanaya sejak tadi menarik baju Anggi, bingung. Kevin yang masih kecil gelisah lalu menangis melihat orang sekitarnya. Orang tua Kevin makin bingung. Kepanikan semakin menjadi setelah terdengar bunyi peluit tiap 10 detik. Pikirku, itu pasti orang yang tersesat dan perlu pertolongan. Terlepas dari apakah itu Fred yang sejak 20 menit yang lalu pamit untuk buang air di tengah hutan dan sampai sekarang belum balik, atau bukan, yang pasti kita harus menolong orang itu.
Aku segera mengajak Her yang dari tadi meratapi keadaan busnya. Dengan berbekal senter HP, aku dan Her segera masuk hutan, mengikuti bunyi peluit itu, dengan mengikatkan tali rafia sebagai petunjuk jalan kembali ke rombongan.
Aku dan Her mencoba berteriak, mengharap peniup peluit mendengar kita. Hari mulai gelap, dari kejauhan terlihat cahaya senter menyala di tempat suara peluit itu. Aku dan Her segera ke sana. Untung saja tadi aku mengajak Her yang baterai ponselnya masih memungkinkan untuk menyalakan senter.
Akhirnya kita menemukan Fred setelah berjalan sekitar 800 meter. Pantas saja dia meniup peluit, kompasnya mati sehingga dia salah jalan ketika akan kembali. Kita bertiga berjalan bersama menuju rombongan dengan mengikuti jejak tali rafia yang tadi dipasang Her. Tak terasa, jam yang ku kenakan menunjukkan pukul 18.20 WITA. Akhirnya kita sampai di rombongan dengan Kanaya yang sudah tidak lagi bersama mereka.
Aku langsung menanyakan keberadaan Kanaya kepada Anggi. Untung saja, tepat sesuai rencanaku, Kanaya ikut dengan penjaga hutan ke Pondok. Kanaya sedari tadi terlihat panik dan terus menyalakan cahaya ponsel karena takut gelap. Sebagai pemandu, aku kemudian berinisiatif mengajak rombongan untuk duduk melingkar dan berdoa sampai penjaga hutan datang kembali dengan motornya untuk menjemput salah satu dari kita.
7 menit kemudian, penjaga hutan datang dan mengeluh bahan bakar motornya terbatas dan akan habis. Her langsung membuka box peralatan untuk mengambilkan bahan bakar dari dalam tangki mobil minibus. Di sini, penjaga hutan memang jarang menggunakan motornya, jadi mungkin dia lupa tidak memperhatikan stok bahan bakar motornya. Selesai mengisi bahan bakar, Anggi dibonceng penjaga hutan untuk menyusul Kanaya menuju Pondok.
Aku, Her, Fred, dan keluarga kecil itu mulai terasa lapar. Roti yang ada di tas ku berikan pada Kevin. Anak itu masih kecil, jangan sampai dia merasa kapok dalam situasi ini sehingga jiwa berpetualangnya hilang, sayang sekali. Fred memunguti kayu kering di sekitar jalan, lalu membuat api unggun. Selain sebagai cahaya, api ini bisa menghangatkan dan mengusir binatang buas. Jenius Fred, pengalaman memang memberi segalanya. Aku yang masih amatir ini harus banyak belajar dari Fred.
Di tengah obrolan itu kita berdiskusi. Awalnya aku ingin memulangkan Fred ke Kota bersama keluarga Kevin menggunakan mobil sedan rekanku. Fred ku anggap tamu spesial. Aku tidak mau dia menilai jelek reputasi wisata di Indonesia hanya gegara situasi ini, gegara kelalaianku. Setelah kita bicarakan, Fred menolak, dia menyarankan agar Her saja yang pergi ke kota untuk mencari bengkel dan kembali esok pagi memperbaiki mini busnya. Her setuju.
Samar-samar terdengar suara motor penjaga hutan semakin mendekat. Fred mulai mengemas barangnya untuk dibawa ke Pondok. Penjaga hutan datang dengan membawa ubi bakar dan teko berisi teh panas. Puji Tuhan, Alhamdulillah, aku sangat berterima kasih telah banyak dibantu dan mendapat pelajaran hari ini. Fred tidak terburu-buru pulang, dia penasaran dengan rasa ubi bakar yang terakhir kali dimakannya 9 tahun lalu saat berkunjung ke Kupang. Tidak berselang lama mereka berangkat menuju Pondok.
Tinggal kita berlima. Aku, Her, dan keluarga kecil. Kita menunggu mobil sedan dari kota yang menurut perkiraanku akan tiba 1 jam lagi, pukul 20.00 WITA. Keluarga kecil itu ternyata memang suka berpetualang. Dari cerita malam itu, Lukman dan Prita telah ingin sekali mengajak Kevin ke gunung. Lukman memang suka berpetualang, namun tidak pernah hiking karena dilarang oleh orang tuanya. Setelah menikah Lukman sibuk dengan pekerjaannya di salah satu kantor di Jakarta Selatan.
15 tahun lalu, Lukman berjumpa Prita saat tengah berlibur ke Pantai Pangandaran. Awal pertemuan itulah yang membawa mereka sampai pada situasi di tengah hutan ini. Setelah mendengarkan cerita Lukman, Her menyambungnya dengan kisah sedih. Dia bercerita mengenai dirinya yang harus bekerja keras sebagai sopir untuk menghidupi keluarga dan memenuhi biaya sekolah anaknya yang masih seumuran Kevin. Lukman menyemangati Her agar tidak putus asa dan terus berjuang untuk hidupnya.
Tak terasa, sudah 30 menit kita bercerita, dan penjaga hutan kembali dengan kondisi tubuh lemas. Tadi siang dia baru menyelesaikan patroli bulanan rutin mengililingi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung yang terletak di Kabupaten Maros. Patroli itu dilakukan selama dua hari dengan memeriksa habitat dan memperhatikan anomali ekosistem yang ada di sana, khususnya kupu-kupu. Aku menyuruh penjaga hutan itu untuk duduk dan istirahat terlebih dulu sembari menunggu mobil sedan.
Sekarang giliranku berbicara, aku tidak bercerita mengenai pengalaman dan sejenisnya karena memang masih amatir dan kehidupanku biasa-biasa saja. Aku baru saja memulai start yang menurutku buruk. Dalam kesempatan itu aku meminta maaf kepada Her, keluarga Kevin yang saat ini seharusnya sudah berada di Kota, dan penjaga hutan karena telah mengganggu nikmatnya istirahat patroli hutan. Aku juga berharap bisa bertemu dengan keluarga itu, terutama Kevin suatu saat nanti. Rencana mereka akan mendatangi acara besar di Jakarta esok hari, namanya Kompasianival. Entah.
Akhirnya rekanku datang dengan mobil sedan yang masih muat untuk 4 orang. Her dan Kevin beserta orang tuanya pamit untuk pulang. Sekali lagi aku minta maaf dan memeluk erat Kevin. Ku harap dia menjadi petualang sejati. Kita pisah berbeda arah. Aku membonceng penjaga hutan menuju belantara yang lebih gelap. Dalam perjalanan kami membicarakan agenda esok hari. Aku akan ikut patroli hutan, bersama Fred dan duo cewek hits tadi. Semoga mereka mau. Sesampainya di Pondok kami beristirahat, aku tidak membicarakan rencana agenda esok hari karena Fred, Kanaya, dan Anggi sudah tertidur lelap.
Hari berganti. Kita dibangunkan oleh aungan hewan-hewan hutan yang menandakan matahari sudah terbit. Jam tanganku menunjukkan pukul 05.30 WITA, dan penjaga huta telah menyiapkan teko berisi kopi dan 6 gelas bambu. Pagi itu kita minum kopi di teras Pondok. Aku mulai membuka obrolan mengenai rencana hari ini. Oke, Fred, Kanaya, Anggi, mau tidak kalian ikut patroli hutan? Fred jelas tertarik dengan ceritaku yang sangat meyakinkan. Fred juga ingin meneliti flora dan fauna di wilayah Wallace ini. Sementara Kanaya dan Anggi butuh keindahan alam untuk kontennya. Aku tidak percaya pagi ini semua terlihat semangat.
Kita saat ini berada di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, The Kingdom of Butterflies kata Alfred Russel Wallace. Di sudut sana ada bukit kapur karst yang masih alami. Sebelah sana goa-goa dengan stalaknit dan stalakmit nan indah. Di luasnya hutan ini ada berbagai jenis kupu-kupu, Trodies Helena Linne, Trodies Hypolitus Cramer, Trodies Haliphron Boisduval, Papilo Adamantius, dan Cethosia Myrana. Dan perjalanan kita berakhir dalam guyuran air terjun.
Selesai.
Semoga ada kesempatan untuk menyambung cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H