Mohon tunggu...
Sam
Sam Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Padi tumbuh tak berisik. -Tan Malaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan atau Wanita, Mana yang Lebih Terhormat?

20 Januari 2017   15:01 Diperbarui: 20 Januari 2017   15:22 20775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkan kita berpikir, kenapa tanah air disebut ibu pertiwi bukan bapak pertiwi? Pusat pemerintahan disebut Ibu kota bukan bapak kota? Leluhur disebut nenek moyang bukan bapak moyang? Jari yang ukurannya paling besar disebut ibu jari? Beberapa frasa tersebut menunjukkan betapa mulianya perempuan. Di sini saya menyebut perempuan bukan wanita, kenapa demikian? Berikut akan saya jelaskan.

Sebenarnya, kedudukan laki-laki dan perempuan di dunia ini adalah sama. Namun di beberapa tempat, terdapat struktur sosial yang menempatkan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan dinomorduakan, tidak mendapat tempat dalam kehidupan sosial, bahkan sampai tidak boleh menjabat sebagai pemimpin.

Saya ambil contoh di Timur Tengah. Masyarakat Timur Tengah telah lama hidup dalam alam patriarki (suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah) dan memandang laki-laki berada di atas perempuan. Berdasarkan tafsir klasik, ditegaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu berbeda, bukan hanya perbedaan biologis, namun juga derajat. Padahal di Al-Qur’an, perempuan dan laki-laki berada dalam satu kesetaraan gender.

Pun begitu dengan matriarki (suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu), meskipun perempuan memiliki keistimewaan, namun tetap saja derajatnya sama dengan laki-laki. Jadi alur keturunan seharusnya berasal dari kedua orang tua, tidak hanya ayah ataupun ibu. Sampai sini perlu diingat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan derajat.

Selanjutnya, kita harus berterima kasih kepada leluhur bangsa-bangsa Nusantara yang menempatkan perempuan di posisi yang mulia seperti di paragraf pertama. Di Nusantara juga, beberapa kerajaan pernah dipimpin oleh seorang perempuan, Ratu Shima di era Kalingga, Sri Isyanatunggawijaya di Medang, Tribuwana dan Suhita di Majapahit. Buktinya perempuan bisa menjadi pemimpin, jauh sebelum kesetaraan gender dikampanyekan.

Namun di samping itu, ada hal yang sangat disayangkan tentang bahasa Indonesia sehari-hari di masyarakat yang berkembang saat ini. Pertama, kata pria dan wanita lebih sering digunakan daripada laki-laki dan perempuan. Contohnya adalah toilet wanita, toilet pria, mempelai wanita, mempelai pria. Padahal kata pria dan wanita merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta yang berarti jantan dan betina.

Sedangkan kata perempuan merupakan panggilan dari raja atau orang yang dihormati (empu) pada zaman kerajaan dahulu. Beberapa sumber menuliskan bahwa perbedaan perempuan dan wanita adalah umur, di mana perempuan adalah sebutan anak-anak sedangkan wanita adalah sebutan dewasa. Pendapat tersebut sangat tidak berdasar. Perempuan itu manusia, bukan hewan yang memiliki banyak nama sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya.

Kedua, penyebutan suami dan istri bagi pasangan perempuan dan laki-laki yang sudah menikah. Kembali ke paragraf dua bahwa kedudukan manusia adalah sama, jadi penyebutan suami dan istri menunjukkan adanya ketidaksetaraan dalam relasi sosial rumah tangga. Jika dilihat dari arti kata, suami dalam bahasa Sansekerta berarti pemilik, sehingga kedudukan perempuan menjadi sebuah barang yang dimiliki. Sedangkan istri dalam bahasa Jawa Kuno berarti betina.

Dalam bahasa Jawa dan Sunda, pasangan suami istri sama-sama disebut bojo, yang menunjukkan kesetaraan. Bojo berarti laki-laki bagi seorang perempuan dan juga perempuan bagi seorang laki-laki. Bojo adalah sebuah jodoh dalam rumah tangga. Bojo dalam bahasa yang lebih halus disebut semah dan yang paling halus disebut garwa.

Para ahli bahasa di negeri ini yang tidak melihat tata bahasa kuno justru merendahkan kaum perempuan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia seharusnya mengkaji kembali penggunaan bahasa di atas. Jika Indonesia ingin menjadi Bangsa yang terhormat, maka hormatilah perempuan karena sejatinya perempuan berada di tempat yang mulia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun