[caption caption="Sumber: techinasia.com"][/caption]Lembaga Sensor Film telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Sedikit cerita, pada tahun 1900 orang Belanda yang tinggal di Indonesia merasa rindu dengan kehidupan di negeri asalnya. Untuk itu mereka mulai mengadakan pemutaran film di sebuah tempat yang disebut bioscoop yang ada di kota-kota besar di Indonesia. Lambat laun film tidak hanya ditonton oleh orang Belanda, melainkan juga masyarakat pribumi sebagai hiburan.
Sekitar tahun 1920-an, negara-negara Eropa tengah ramai dilanda krisis revolusi, yaitu perlawanan dari masyarakat yang tertindas oleh pemerintah yang akhirnya memberontak dan menggulingkan pemerintah. Hal tersebutlah yang membuat industri film juga banyak mengangkat tema revolusi dalam film yang dibuatnya. Film bertema revolusi ini kemudian disebar ke seluruh dunia untuk ditayangkan dengan maksud sebagai hiburan.
Karena takut film bertema revolusi atau pemberontakan masuk ke Indonesia yang nantinya bisa membangkitkan semangat juang rakyat untuk melawan Pemerintah, akhirnya Belanda membentuk sebuah badan yang bertanggung jawab atas sensor film yang dapat merugikan pemerintah, bernama Komisi Sensor Film. Keberadaan Komisi Sensor Film diatur dalam Staadsbad van Nederlands Nomor 276 tentang Pengawasan dan Pertunjukan.
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1946 pemerintah menempatkan Badan Sensor Film dalam lingkungan Departemen Pertahanan Negara. Hal tersebut dimaksudkan agar film dapat mengobarkan semangat juang rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan. Kemudian pada 1948, Badan Sensor Film ditempatkan dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri dengan nomenklatur Panitia Pengawas Film.
Awal mula kontroversi film di Indonesia dimulai saat produksi film Antara Bumi dan Langit yang disutradarai oleh Dr. Huyung dari Jepang pada tahun 1950. Gelombang protes berdatangan dari berbagai pihak setelah dalam film tersebut terdapat adegan ciuman antara aktor S. Bono dengan Grace. Saat itu masih belum ada aturan tertulis mengenai produksi film tanah air. Kemudian film tersebut menjadi koreksi bagi produksi film-film Indonesia selanjutnya.
Akhirnya terciptalah ide yang pada tahun 1981 dapat terwujud dengan disepakatinya Kode Etik Produksi Film Indonesia dalam seminar yang diadakan di Jakarta. Tujuan kode etik ini adalah meminimalisasi sensor yang dilakukan oleh Badan Sensor Film dengan harapan insan produsen film bisa menyaring sendiri adegan-adegan yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
UU Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman menjadi dasar hukum peraturan pembuatan film Indonesia. UU ini juga merupakan payung hukum bagi Lembaga Sensor Film. Dalam Pasal 33 UU Perfilman secara tegas disebut setiap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan wajib disensor.
Yang dimaksud sensor film menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film adalah penelitian dan penilaian terhadap film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film atau reklame film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum baik secara utuh maupun setelah peniadaan gambar atau suara tertentu. LSF melakukan penyensoran terhadap semua film, baik film bioskop maupun tayangan televisi.
Tidak semua tayangan televisi wajib disensor. Siaran langsung dan berita menjadi tanggung jawab Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jadi terdapat perbedaan tugas pokok dan fungsi antara LSF dan KPI yang harus diketahui oleh masyarakat agar tidak salah kaprah memberi kritik.
Akhir-akhir ini banyak kritik masyarakat kepada entah KPI atau LSF yang intinya menyatakan bahwa sensor yang dilakukan terlalu berlebihan. Memang benar adanya terlalu berlebihan, bahkan susu sapi yang sedang diperas dalam sebuah liputan menjadi disensor. Â
Mengenai kartun Spongebob, menurut saya tidak ada sensor berlebihan yang dilakukan karena memang kartun tersebut ada dalam kategori Semua Umur (SU) di mana anak-anak diperbolehkan menonton. Tokoh Sandy yang memakai pakaian mini, walau hanya sekadar hewan tupai, tetap tidak sesuai untuk dipertontonkan kepada anak-anak.
Masalah utama sebenarnya terletak pada ketidakadilan dalam sensor film yang dilakukan badan berwenang. Banyak film beradegan ciuman atau berbau asusila yang lulus dari sensor. Hal inilah yang membuat masyarakat berpendapat sensor yang dilakukan terlalu berlebihan, karena ada hal yang lebih tidak sesuai dan seharusnya disensor tapi malah dibiarkan lulus sensor.
Solusi dari semua ini terletak pada pemerintah dan masyarakat. Pemerintah melalui KPI atau LSF harus secara adil melakukan sensor terhadap film atau tayangan yang tidak sesuai. Ketidaksesuaian tayangan dapat dilihat dalam pembagian kategori film menurut UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang LSF, Pasal 28 Ayat 1, yaitu Kategori Semua Umur (SU), 13+, 17+, dan 21+. Setelah itu masyarakat khususnya dalam lingkup keluarga harus bisa mengontrol anggotanya dalam menonton film sesuai kategori masing-masing.
Anggap saja semua kritik yang dilontarkan oleh masyarakat adalah suatu pijakan untuk membuat badan sensor film Indonesia bekerja dengan lebih baik dan berhati-hati. Sesungguhnya LSF atau AJI berusaha untuk menjembatani antara insan film dan hasil karyanya dengan pemirsa, sehingga layak ditonton. Sungguh hal ini tidak bermaksud menyusahkan atau membelenggu kreativitas.
Semoga industri perfilman di Indonesia ke depannya menjadi lebih baik lagi dan bisa mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional serta menjadi salah satu sektor yang memajukan perekonomian negara.
Â
Bogor, 29 Februari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H