[caption caption="Sumber: news.okezone.com"][/caption]
Presiden Joko Widodo mengajak lembaga negara untuk merevisi UU Terorisme sebagai langkah antisipatif pencegahan tindak pidana terorisme yang dapat mengganggu stabilitas keamanan Indonesia seperti yang telah terjadi di Sarinah sebulan yang lalu.
Masih dalam ingatan, teror bom yang terjadi di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2015, tepat sebulan yang lalu. Bom meledak sebanyak enam kali secara beruntun di dua titik berbeda, yaitu di pos polisi dan di depan Starbuck. Akibat ledakan dan rangkaian peristiwa penembakan, terdapat tujuh korban tewas yang terdiri dari lima orang pelaku dan tiga orang warga sipil serta 33 orang lainnya mengalami luka-luka.
Tercatat ledakan pertama terjadi pada pukul 10.39 WIB di depan Starbuck disusul 11 detik kemudian terjadi ledakan susulan di pos polisi Thamrin. Ledakan-ledakan lain terjadi di sekitar dua lokasi awal disertai dengan aksi baku tembak antara polisi dengan teroris.
Lima orang teroris tewas dalam peristiwa tersebut. Salah satu pelaku bernama Dian Juni Kurniadi (25 tahun) diketahui berasal dari Kotawaringin Barat dan tinggal di Jalan Jenderal Sudirman Kav 18, Jakarta. Dia dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan tertutup.
Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan menduga motif pelaku yang disinyalir merupakan bagian dari kelompok ISIS itu adalah untuk menunjukkan eksistensinya kepada pemerintah Indonesia dan Polri. Hal itu dapat dilihat dari serangan yang lebih diarahkan kepada aparat kepolisian di lokasi.
Dalam rapat konsultasi di Istana Negara, Presiden Joko Widodo mengajak pimpinan lembaga tinggi negara untuk mengkaji ulang UU Terorisme. UU Terorisme yang dimaksud adalah Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No. 15 tahun 2003 tantang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 menjadi Undang-undang, dan  UU No. 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Peraturan tersebut dinilai kurang efektif dalam mencegah tindak pidana terorisme. Sekretaris Kabinet, Pramono Agung menyebut bahwa teror Sarinah adalah bukti lemahnya Undang-undang yang ada.
Baik Polri maupun intelijen sebenarnya sudah jauh-jauh hari mendeteksi potensi aksi terorisme di Indonesia, namun karena tidak adanya payung hukum maka orang-orang yang telah terdeteksi tidak bisa ditangkap. Penangkapan pelaku baru bisa dilakukan setelah kejadian teror.
Hal ini kurang efektif dari segi keamanan negara, di mana harus ada yang dikorbankan terlebih dahulu agar bisa dilakukan penangkapan. Serangan teror tidak hanya mengakibatkan korban tewas, melainkan berdampak pada kondisi ekonomi Indonesia dengan melemahnya kurs mata uang rupiah.
Sudah saatnya revisi UU Terorisme dilakukan. Pencegahan adalah hal mutlak yang harus dilakukan untuk menjamin keamanan dan keselamatan warga negara Indonesia. Keselamatan warga negara bagaimanapun juga termasuk Hak Asasi Manusia yang wajib dijunjung tinggi oleh Indonesia.
Tidak ada alasan untuk menolak revisi UU Terorisme. Jika para penggiat HAM mengangkat isu pelanggaran HAM dalam pemberantasan teroris, lantas bagaimana dengan saudara kita yang tidak berdosa kemudian menjadi korban tewas akibat serangan teror? Bukankah itu pelanggaran HAM yang lebih besar? Ataukah anda mau menjadi korban teroris selanjutnya?
Â
Dikutip dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H