Julukan Kota Udang atau Kota Wali yang disandang Cirebon akhir-akhir ini tergantikan oleh julukan baru yaitu Kota Tilang. Bukan masyarakat Cirebon sendiri yang memberi julukan tersebut, namun istilah itu datang dari mantan korban ‘penertiban’ kendaraan bermotor yang dilakukan oleh polisi setempat. Julukan Cirebon Kota Tilang menjadi populer di media massa dan menjadi bahan lelucon baru di masyarakat.
Sebelumnya itu, bagaimana letak daerah Cirebon? Sengaja saya tulis bagaimana karena jika kata tanyanya adalah di mana, pasti semua orang sudah mengerti bahwa Cirebon terletak di Provinsi Jawa Barat. Cirebon terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Letak yang cukup strategis karena berada di jalur pantura, yaitu jalan favorit yang banyak dilalui oleh pengendara mobil maupun motor di Pulau Jawa karena relatif lurus, datar, dan bagus.
Julukan Cirebon Kota Tilang saat ini bisa disebut sesuai dengan apa yang terjadi. Banyak masyarakat mengeluh akibat banyaknya tilang yang dilakukan oleh aparat kepolisian setempat. Sebenarnya, penertiban lalu lintas merupakan tugas wajib polisi lalu lintas, namun penertiban harus dilakukan kepada pengendara yang memang salah atau tidak tertib. Bukan semua pengendara ditertibkan tanpa alasan.
Apa yang terjadi di Cirebon adalah contoh dari penertiban yang kurang tepat. Polisi salah dalam memberikan tilang, di mana kendaraan yang bisa dibilang sudah tertib masih saja diberi tilang. Seperti pengakuan korban tilang di berbagai media sosial, ada yang ditilang karena pentil ban, karena tas atau barang bawaan, atau bahkan karena isi di dalam mobil yang sebenarnya tidak melanggar hukum.
Jujur saya tidak seberapa paham mengenai isi dari UU lalu lintas. Namun selayaknya kesalahan kecil lebih baik hanya diberi teguran atau peringatan, bukan langsung ditilang. Masalahnya, pengendara yang ditilang kebanyakan dari luar kota, atau dengan kata lain kendaraan selain flat nomor E. Berarti ada semacam diskriminasi terhadap pengendara dari luar kota, sedangkan warga Cirebon diistimewakan dengan alasan tertentu. Mungkin jika warga Cirebon sendiri yang banyak ditilang, maka akan terjadi demonstrasi di depan Polres Cirebon menanggapi maraknya kasus tilang tersebut.
Selanjutnya, kenapa polisi di sana mau saja disuap? Kalau memang benar-benar menertibkan, maka tertibkanlah dengan benar, jangan main negosiasi dengan uang. Ada kesimpulan sementara yang dapat ditarik bahwa polisi melakukan banyak penertiban hanya karena mencari keuntungan pribadi.
Masyarakat lebih memilih ‘damai’ dengan polisi karena tidak ingin ribet berurusan dengan hukum. Siapa juga yang mau bolak balik ke Cirebon dari luar kota hanya untuk proses hukum lalu lintas. Kebanyakan orang pasti memilih mengeluarkan uang, dan oknum polisi mau saja menerima. Siapa juga polisi yang tidak mau uang.
Kembali kepada masalah penegakan hukum di Indonesia. Aparat penegak hukum masih banyak yang belum profesional akan profesi yang dijalaninya. Mereka yang seharusnya menegakkan hukum malah dengan seenaknya melakukan pelanggaran hukum itu sendiri. Jika begitu, sila kelima dari Pancasila masih belum tercapai untuk saat ini dengan adanya kasus di atas.
Memang tidak semua polisi melakukan hal demikian, hanya oknum tertentu saja. Institusi Polri harus lebih teliti melakukan pengawasan kepada anggotanya yang ‘nyeleneh’. Tindak secara tegas sebelum menjadikan citra Polri buruk di mata masyarakat, khususnya Polres Cirebon.
Sumber gambar: khsblog.net  Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H