Momen lebaran mungkin tidak sama di tiap tahunnya. pasti ada yang berbeda pada masing-masing tahunnya. Jika kebanyakan orang memilih berkumpul dengan keluarga besar, justru pada lebaran 2023 ini saya sedikit menghindar dan lebih fokus untuk nguri-uri budaya leluhur dan mbolang alias plesiran ke Dieng dengan motor bersama seorang kawan baik. Penasaran ceritanya? Nanti dulu, saya ceritakan satu persatu dulu.
Hari pertama lebaran tentunya berkumpul dengan keluarga karena sudah menjadi kewajiban dan tradisi. Sebagai manusia yang masih belajar menjadi baik, hari pertama setelah sholat Ied bersama dengan  seorang kawan di daerah Pakualaman Yogyakarta, saya langsung  pergi ke rumah keluarga dari Bapak dan Ibu.  Sebagai generasi milenia yang belum menikah, tentu momen ini menjadi ajang "uji nyali" karena pasti mendapatkan pertanyaan yang kadang membuat hati ini resah dan bersedih hati. Kapan nikah? Kenapa nggak nikah?Â
Oh, My God! Setiap tahun, saya harus mendapat lontaran pertanyaan itu. Jujur saja, pertanyaan -pertanyaan itu bagi saya bagaikan peluru-peluru kecil dari lontaran senapan yang harus saya terima, tangkis, bahkan  saya mengimajinasikannya seperti saya sedang menggenggam peluru itu dengan erat, meleburkannya menjadi abu, lalu menghempaskannya ke udara sambil tersenyum.
Hidup di Indonesia ini, harap dimaklumi saja, ketika pola keluarga Negeri Timur ini masih konservatif dan mengedepankan ide menikah merupakan tujuan utama hidup dan sebuah problem solver dalam kehidupan. Terkadang, perbedaan prinsip hidup saja tidak mau menerima apalagi masalah yang lain.
Bagi saya, tujuan hidup tidaklah menyoal tentang pernikahan tetapi tentang menjadi manusia yang selalu belajar menjadi baik dan bermanfaat bagi sesama makhluk Tuhan. Jadi ya, saya hanya menjawab "Injih, injih" saja sambil haha-hihi  dan menyantap opor ayam. Sayapun tidak takut menulis pengalaman momen lebaran ini dengan jujur dan dibaca oleh kedua belah pihak keluarga saya . Justru dengan tulisan ini, hati saya menjadi plong karena kejujuran adalah nomor satu bagi saya.
Setelah roaming dan menghabiskan energi untuk berkumpul dengan banyak orang, sayapun langsung tancap gas motor pergi ke rumah seorang teman. Sesampainya di sana, tak lupa  sungkem dengan ibu teman saya ini dan "haha hihi" melepas penat. Di sana, saya malah menemukan momen lebaran yang "hangat" dan lebih ramah. " Family is more than blood. Families are made of those who you welcome in, share "silent unspeakable memories" with, express vulnerability with, work to climb the highs and lows of life with, and who you love with all your heart."
Malam harinya, saya bersama temanku fokus menyiapkan syawalan di Pura Pakualam karena kami mendapat ajakan syawalan esok hari dari salah seorang kawan baik kami. Syawalan ini adalah acara resmi dan tamu wajib memakai dress code yang sudah ditentukan, yaitu busana Jawa yang anggun (kebaya) dan sanggulan. Nah, tidak hanya itu. Ada sedikit drama tambahan terjadi, singkat ceritanya, badan saya melar  pasca pandemi Covid-19 dan kebaya saya tak ada yang muat. Jadi, saya harus meminjam kebaya dari salah seorang teman yang juga merupakan penari Kraton Yogyakarta. (Buat Mbak Sari kalau baca blog tulisan ini, saya hanya bisa mengucapkan "Maturnuwun, Mbak. You saved my life. Hehehe" )
Keesokan harinya, hari kedua Lebaran. Pagi-pagi sekali kami berdandan ala "ndara putri ", dimulai dari menata rambut menjadi cantik dan anggun. Sanggulannya pun rapi dan bagus banget. Makasi mbak Tutik, "njenengan ancen keren". Make upnya pun sederhana tapi justru itu cantik natural. Make up artisnya pun kakak teman saya itu sendiri. (Mbak Ayu, maturnuwun banget, kamu keren sekali. You made us so beautifull. Next time lagi ya mbak)
Setelah selesai berdandan kami pun menuju Pura Pakualaman dan mengikuti acara syawalan dengan khidmat. Berjalan pelan-pelan ala "Putri Solo". Sungguh momen paling berkesan, kami pun tak henti-hentinya senyam senyum sepanjang acara tersebut sambil motret-motret prosesi acara. Dengan adanya acara syawalan ini, kami pun malah ketagihan ingin berkebayaÂ
" Wearing traditional clothes is a way of letting the world know who I am without having to say it. Â And we are proud of it!"
Loh, kapan lagi nguri-uri budaya leluhur dengan busana Jawa yang cantik dan anggun. Merupakan hal langka kami berdandan begitu. Sehari-hari saya itu kalau berbusana ala rocker tapi ya hatinya tetap Hello Kitty.
Hari lebaran ketiga adalah momen lebaran klimaks 2023? Wah pengalamannya itu up and  down bak roller coaster dan kami dibuat membeku serta mati rasa. Penasaran? Begini ceritanya, gaes.
Kami berangkat dari Yogyakarta sekitar pukul 1 siang karena paginya kami pergi ke gereja terlebih dahulu. Biasanya kalau plesiran, saya itu all-prepared dari fisik, budget, penginapan, dan lain-lain. Maklum, sebagai tour guide, persiapan harus perfect tapi kali ini tidak. Penginapan belum dipesan sama sekali dan bahkan membawa uang tunai tak banyak. Walau begitu, kami terbantu dengan bekal menu bandeng dan sambal yang enak banget buatan ibu teman saya ini. Lumayan kan hemat dan afdol beneran bawa bekal saat plesiran.
 Perjalanan dari Kota Jogja ke Magelang, saya yang nyetir motor tanpa Google Maps dan lancar. Tapi ada "tapinya". Perjalanan kurang lebih sejam itu membuat kesal teman saya karena cara mengendarai motor saya itu barbar dan panikan. Saya akui, saya itu aslinya tidak bisa naik motor di jalan raya yang besar dan suka panikan akibat trauma kecelakaan beberapa kali. Kepala saya pernah cedera dan harus di CT-Scan. Akhirnya, diputuskan saja dari kota Magelang sampai Dieng, gentian teman saya yang nyetir motor.
Jangan tanya lancar apa tidak, lancar sih gaes hanya saja pengalamannya begitu "mengesankan". Kami harus menggunakan google maps dan diarahkan jalan alternatif karena jalan Sapuran -Salaman itu ada kecelakaan mobil dan agak macet. Kami pun motoran melewati jalan desa, pemandangannya pun indah. Sepanjang jalan itu pemandangannya sawah dan gunung Sindoro. Sejak dari kota Magelang, kami diguyur hujan dan kadang hujannya berhenti sampai baju kami kering dan basah lagi.Â
Momen puncak, kami kedingian sekali ketika touring motor diguyur hujan di kawasan jalan pegunungan. Hawanya kan udah dingin tuh ditambah lagi kucuran air hujan yang lumayan deras dari langit. Walaupun kami sudah memakai mantel hujan tapi tetap saja, kaki dan tangan kami membeku dan menjadi keriput. Sejauh mata memandang, hanya hujan dan kabut. Dalam momen itu, saya sempat mikir "Wah, cuma mau ke Dieng, harus kena laundry dari semesta dulu hehehe".
Sesampainya di sana, kami cuma bertanya-tanya dengan tampang membeku dan berharap jika masih ada 1 kamar kosong karena musim lebaran 2023 di Dieng penuh dengan wisatawan. Ternyata masih ada  tapi di Homestay Arjuna 2, Tuhan masih baik ya  gaes. Eh eh, ternyata yang punya penginapan juga orang Jogja. Walah, dunia sempit. Kami lega. Tak hanya itu, kami juga senang banget, mendapat diskon untuk menyewa homestaynya. Kami pun diantar ke homestay tersebut. Hal pertama yang kami lakukan yaitu membuat tangan tidak membeku karena mati rasa. Air panas dari kamar mandi pun tak terasa panas di kulit kami.  Kami juga sibuk dengan urusan masing-masing seperti bongkar muatan tas lah, sepatu, dan sebagainya  karena tas kami basah. Apakah ada drama lagi? Tentu ada gaes :)
Ketika saya mau mandi, tiba-tiba kaki saya sakit banget dan perih. Setelah saya lihat, kaki saya tertusuk serpihan keramik. Saking kecilnya, lihatnya harus memakai senter. Saya mencoba berkali-kali mengeluarkan serpihan tajam itu tapi tidak bisa. Selama dua jam, saya menahan sakit tapi karena terbantu hawa dingin Dieng, kaki saya mati rasa karena saking dinginnya dan tidak terasa sakit. Bahkan, dipakai untuk motoran dan jalan-jalan pada malam harinya di Dieng sampai tengah malam. Pemandangan Dieng pada malam hari itu indah gaes tapi harus kuat menahan dingin yang menusuk.
Keesokan harinya, bukannya malah plesiran seperti yang sudah dijadwalkan tapi malah mencari mantri desa untuk mengeluarkan serpihan kecil dari kaki. Pemilik homestay mengantar kami sampai ke-2 tempat tapi semua tidak available dikarenakan beberapa hal. Akhirnya, kami memutuskan untuk ke kompleks Candi Arjuna, tapi karena sudah kesiangan dan sudah banyak orang. Kami tak lama di sana cuma ambil beberapa foto saja dan cabut ke penginapan kembali. Memang benar kata orang-orang kalau plesiran itu jangan berekspetasi terlebih dahulu karena sering  tidak sesuai ekspetasi gaes :). Sambil. menunggu puskesmas setempat buka sambil sarapan gratis di homestay  kami menginap.
Kamipun pergi ke puskesmas dan segera mendapat pertolongan untuk menyembuhkan drama kaki. Prosesnya lumayan karena harus disuntik bius tapi langsung sembuh karena serpihannya sudah terangkat. Kami pun melanjutkan mbolang lagi ke Kawah Si Kidang. Lagi-lagi karena suasana liburan, menuju jalan ke sana pun harus berjuang macet-macetan. Arus keluar masuk kawah pun berjubel dan harus sabar. Tak jauh beda dengan kawasan Candi Arjuna, kami pun hanya mengambil beberapa foto saja dan kemudian cabut dan kami memutuskan langsung pulang ke Yogyakarta.
Honestly, cerita Lebaran 2023 kali adalah momen lebaran paling asik dan anti mainstream seumur-umur hidup. Terima kasih Event KJOG, saya jadi ngeblog lagi setelah sekian lama vakum.
"INVESTMENT IN TRAVEL IS AN INVESTMENT IN YOURSELF"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H