Mohon tunggu...
Yulia Sujarwo
Yulia Sujarwo Mohon Tunggu... Freelancer - History Enthusiast, host youtube channel @HistoricalInsight

history is my passion

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Napak Tilas Raja Jayanegara di Gapura Bajang Ratu Trowulan

9 Februari 2018   17:23 Diperbarui: 9 Februari 2018   20:56 2326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak dari bawah Gapura Bajang Ratu.Dok pribadi

"People from the past, have a tendency to walk back into the present, and run over the future
No matter what has happened ,it has all worked together to bring you to this moment"

Trowulan, Oktober 2017

Terik panas matahari semakin menyengat dan menusuk kulit. Trowulan kala siang hari memang sangat cerah namun rasa panasnya juara. Hingga aku berkata dalam hati, kapan sang bayu (angin) datang menghampiri. Untuk usikkan hembusan sejukmu di sini. Terlihat 39 derajat celcius suhu kala itu dan kurasakan siang itu rasa panasnya yang membara hingga membuat mata silau dan kepala pening sejenak.. Namun hal ini tidak menghalangi langkahku untuk kembali mengunjungi Gapura Bajang Ratu. Di samping itu juga, kunjungan ketiga kalinya  ke Gapura Bajang Ratu ini adalah sebagian dari kewajiban kerja.

Aku pun  melangkah masuk ke area Gapura Bajang Ratu dengan bertelanjang kaki dan  tak lupa uluk salam kepada mereka yang tak kasat mata dan hormat kepada leluhur. Rasa sakit di telapak kaki akibat sengatan dari tanah yang panas pun aku tepis. Saat kaki melangkah masuk, terlihat pemandangan taman dengan background gapura yang berdiri megah. Gapura bajang Ratu adalah salah satu situs yang terkenal di Trowulan dan bagi kalian yang menyukai sejarah pasti sudah tahu cerita di balik gapura cantik ini.

Bangunan yang terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto dan sekitar 600 m dari Candi Tikus,  pada awalnya dibangun untuk memperingati Kalagemet alias Jayanegara raja kedua Majapahit (Wilwatikta) yang mempunyai watak yang berbeda 180 derajat dengan ayahnya (Raden Wijaya). Ia adalah seorang pemberani dan pandai dalam menggunakan senjata apapun namun sifatnya banyak membuat orang-orang istana tidak menyukai beliau dan menorehkan kisah gelap. Bangunan gapura yang sudah tidak lengkap ini, diperkirakan dibangun pada abad ke-14  dan salah satu gapura yg monumental pada zaman keemasan Majapahit (Wilwatikta). Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalam kitab Negarakertagama disebut "kembali ke dunia Wisnu".

Menurut catatan sejarah, Raden Wijaya (Raja pertama I Majapahit) mempunyai 5 istri, 4 dari anak Kertanegara (Raja terakhir Singhasari) dan 1 Putri Melayu yg bernama Dara Petak. Jayanegara adalah anak sekaligus putra mahkota satu-satuya namun tak banyak yang suka beliau karena aneh dan menyukai 2 adiknya sendiri yg masih sedarah . Konon meninggalnya sang Jayanegara,juga  adanya ikut campur dari Sang Gayatri hingga membuat beliau merasa bersalah dan akhirnya memutuskan untuk menjadi bikuni ( biksu perempuan.) Hal ini dilakukan, karena jika Jayanegara masih hidup maka beliau akan menikahi kedua adiknya sendiri. Hal tersebut sungguh sangat dilarang menikah dengan orang yang masih satu darah.

Surya Majapahit, lambang kerajaan Majaahit. Dok : Museum Nasional Jakarta, Indonesia
Surya Majapahit, lambang kerajaan Majaahit. Dok : Museum Nasional Jakarta, Indonesia
Asal mula penamaan Gapura Bajang Ratu  yaitu, nama Bajang Ratu sendiri diambil dari Bahasa Jawa yaitu bujang (bajang). Ketika penobatan Raja Jayanegara, beliau masih muda. Namaratu memiliki arti cacat. Pada masa kecil, Raja Jayanegara pernah terjatuh di gapura ini, yang menyebabkan adanya cacat pada tubuhnya. Sehingga akhirnya diberi nama Banjang Ratu yang memiliki arti Raja Cacat. Fungsi bangunan ini sebagai peringatan dan penghormatan Jayanaegara yang wafat pada tahun 1328 M. Kemudian, bentuk Candi Bajang Ratu yang menyerupai gapura seperti Candi Penataran di Blitar.Relief yang ada di bingkai pintu yang mirip dengan relief yang ada di Candi Panataran. Relief tersebut penampakannya dengan bentuk naga yang menunjukkan adanya pengaruh dari Dinasti Yuan.

Gapura Bajang Ratu. Dok pribadi
Gapura Bajang Ratu. Dok pribadi
Gapura Bajang Ratu dibuat dan memiliki konstruksi yang berasal dari bahan batu bata merah, kecuali bagian atap dan anak tangga dan dasarnya . Candi ini menghadap ke dua arah yaitu barat dan timur dengan tinggi 16,1 M dan dengan panjang 6,74 m. Terdapat sayap di sebelah kanan dan kiri candi.

Mengunjungi Gapura Bajang Ratu bagi saya, tidaklah cukup jika hanya sekedar melihat dan memotret. Hal yang sering saya lakukan disana adalah melihat bangunanya dirasakan yang begitu mendalam dan ditulis. Mungkin bagi sebagian orang, perihal yang saya lakukan adalah aneh tapi inilah salah satu perwujudan hormat saya kepada leluhur. Bangunan ini memang indah namun sudah banyak yang hilang. Kemungkinan besar, dibalik gapura ini, dahulu kala terdapat sebuah bangunan suci yang besar mengingat bentuk dari Gapura bajang ratu ini merupakan gapura paduraksa atau gapura beratap dengan tangga naik dan turun, Bajangratu diduga merupakan salah satu pintu gerbang istana Majapahit kala itu. Perkiraan ini didukung oleh letaknya yang tidak jauh dari lokasi bekas istana Majapahit dan jarak antara situs lainnya saling berdekatan.

Jika dilihat secara detail dibagian atasnya, Atap Bajang Ratu berbentuk meru (gunung), seperti mirip limas bersusun, dengan puncak persegi. Setiap lapisan dihiasi dengan ukiran dengan pola limas terbalik dan pola tanaman.

Tampak dari bawah Gapura Bajang Ratu.Dok pribadi
Tampak dari bawah Gapura Bajang Ratu.Dok pribadi
Kemudian jika diperhatikan bawahnya, pada bagian tengah lapis ke-3 terdapat relief matahari, yang konon merupakan simbol kerajaan Majapahit. Walaupun candi ini menghadap dari timur ke barat, namun bentuk dan hiasan di sisi utara dan selatan dibuat mirip dengan kedua sisi lainnya. Di sisi utara dan selatan dibuat relung yang menyerupai bentuk pintu. Di bagian atas tubuh candi terdapat ukiran kepala garuda dan matahari diapit sebuah naga.

Sempat terbesit dalam benak saya, betapa indahnya Gapura Bajang Ratu ini yang masih lengkap dan utuh kemudian ada bangunan besar di belakangnya. Pohon-pohon rindang menghiasi kawasan ini dan terlihat pula orang-orang berlalu lalang di kawasan ini pada zaman dahulu yang berpakaian seperti pendeta. Sayapun juga membayangkan bagaimana perawakan Jayanegara dimana beliau menggunakan mahkota yang terbuat dari emas dan mempunyai ukir-ukiran indah. Gelang kelat bahu berbentuk Kala yang terbuat dari emas juga. Kemudian mengingat beliau pandai memainkan berbagai macam senjata pastilah beliau bertubuh atletis dan gagah seperti ayahnya Raden Wijaya.

Setiap raja pastilah mempunya sisi baik dan buruk. Keistimewaan raja yang mempunyai nama gelar  Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara  ini tidak hanya pintar di taktik perang saja namun pada saat beliau memerintah Wilwatikta berhasil menumpas pemberontakan. Hal ini juga dikarenakan atas jasa sang patih mudayakni Gajah Mada. Pemberontakan-pemberontakan tersebut yaitu pemberontakan Ranggalawe tahun (1309) , pemberontakan Lembu Sora tahun (1311), pemberontakan Nambi tahun (1316) dan  pemberontakan terakhir dan paling besar oleh Ra Kuti tahun (1319).

Gapura Bajang Ratu sebenarnya sudah dipugar sejak pada zaman Belanda namun tetap saja tidak bisa utuh kembali seperti semula dan berdasarkan dari foto lama padatahun 1930 Gapur Bajang Ratu memang sudah seperti itu. Bangunan yang di belakangnya sudah tidak ada lagi. Hal yang disayangkan juga tentang data kapan pemugaran pada era zaman Belanda juga belum diketahui. Mungkin ini yang menjadi faktor Gapura Bajang Ratu tidak lagi dipugar dengan menambahkan bangunan baru karena memang tidak ditemukannya catatan.

Sebagai generasi muda zaman sekarang hendaklah merawat dan menjaga bangunan heritage agar masih lestari. Orang yang berkunjung di Gapura Bajang Ratu semoga masih menghormati dan membuang sampah padatempatnya jika masuk area Gapura Bajang Ratu. Sering kali saya melihat mereka hanya berfoto-foto saja. Well, tidak masalah asalkan masih bisa menjaga kebersihan. Semoga tulisan ini menambah wawasan para pembaca sekalian yang budiman. Maturnuwun.

Rahayu, rahayu, rahayu...............

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun