Mohon tunggu...
yulia novita sari
yulia novita sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - universitas indraprasta PGRI jakarta

saya adalah mahasiswa pendidikan sejarah dari universitas indraprasta PGRI jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Demokrasi Terpimpin Tahun 1957-1965

28 April 2023   20:28 Diperbarui: 28 April 2023   20:29 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah-tengah krisis tahun 1957 diambillah langkah-langkah per tama menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh Sukarno dinamakan `demokrasi terpimpin'.Ini merupakan suatu sistem yang tidak tetap, yang dilahirkan dari krisis dan terus-menerus berubah sepanjang masa yang paling kacau dalam sejarah Indonesia sejak Revolusi. 

Demokrasi terpimpin didominasi oleh kepribadian Sukarno, walaupun prakarsa untuk pelaksa naannya diambilnya bersama-sama dengan pimpinan angkatan bersenjata. Pada waktu itu beberapa pengamat menganggap Sukarno sebagai seorang. 

Diktator dan ketika sikapnya semakin berapi-api beberapa pengamat cenderung menganggapnya hanya sebagai sebuah karikatur yang sudah terlalu lanjut usia. Dia dapat berpidato kepada khalayak ramai atau membuat terpesona musuh yang potensial dengan sama mudahnya, meskipun dia juga sangat ahli dalam membenci musuh-musuhnya. 

Dia menawarkan sesuatu untuk diyakini kepada bangsa Indonesia, sesuatu yang diharapkan banyak orang akan memberi mereka dan negara mereka martabat atau kebanggaan. Akan tetapi, semuanya ini adalah untuk mendukung suatu keseimbangan politik yang bahkan juga tidak dapat ditegakkan oleh Sukarno, suatu keseimbangan politik yang merupakan kompromi antara kepentingan kepentingan yang tidak dapat dirujukkan kembali dan oleh karenanya tidak memuaskan semua pihak. 

Meskipun Sukarno memiliki pandangan tentang masa depannya sendiri, tetapi dia tidak mempunyai satu pun pandangan (atas setidak-tidaknya satu pun pandangan yang akhirnya dapat diterima oleh pimpinan lainnya) mengenai masa depan negara dan bangsanya. Janji dari demokrasi terpimpin tersebut adalah suatu janji yang kosong.

Usaha-usaha telah dilakukan oleh para ilmuwan untuk menggambarkan demokrasi terpimpin sebagai sebuah sistem pemerintahan, suatu percobaan yang agak mirip dengan melukiskan bentuk amuba.

Beberapa ilmuwan menyetujui pendapat Sukarno bahwa ini merupakan langkah kembali ke sesuatu yang lebih sesuai dengan masa lalu Indonesia dan khususnya Jawa. Memang benar bahwa dalam beberapa hal Sukarno mirip seorang raja Jawa dari masa prakolonial. Dia merupakan suatu pusat legitimasi yang diperlukan oleh para pemimpin lainnya. 

Peragaan yang mencolok adalah pengungkapan legitimasi ke luar; stadion-stadion, patung-patung, dan upacara-upacara umum yang besar mungkin mempunyai fungsi yang sama dengan upacara dan bangunan-bangunan istana dari masa lalu. Sukarno sendiri hanya memiliki sedikit kekuatan yang terorganisasi dan harus memanipulasi, mengancam, dan membujuk orang-orang kuat lainnya. Meskipun mempunyai kesamaan-kesamaan yang menarik dengan masa prakolonial, tetapi kesemuanya itu hanya sedikit memberi penjelasan apa- lagi tidak bercorak khas Indonesia. Mustahil bahwa demokrasi terpimpin diilhami secara sadar atau pun bawah-sadar oleh prinsip-prinsip asli negara dari masa prakolonial. Tradisi-tradisi politik Jawa sudah sedemikian diubah olch kolonialisme Belanda sehingga pada tahun 1950-an tidak ada satu pun yang masih tersisa selain legenda-legenda yang romantis, gambaran-gam baran dari pertunjukan wayang yang hanya mencerminkan sistem politik dulu sampai batas-batas tertentu, dan lembaga-lembaga istana itu sendiri. 

Bahwa rakyat pedesaan dapat memahami Sukarno dari segi model-model wayang semata-mata mencerminkan kehalusan dan kekayaan bentuk kesenian itu serta kecintaan Sukarno sendiri pada wayang dan keterampilannya dalam memanipulasikan lambang-lambang. Peranan militer pribadi raja-raja prakolonial Indonesia tidak kita jumpai dalam demokrasi terpimpin. Dia tidak menyukai stabilitas, ketertiban, dan hal- hal yang dapat diramalkan, yang merupakan tujuan-tujuan semua penguasa dari masa prakolonial. 

Dia menginginkan revolusi yang berkesinambungan dan mobilisasi massa, dan di sini kelihatan dampak dari pergerakan nasional, pendudukan Jepang, dan Revolusi, yaitu pengaruh-pengaruh yang lebih mendasar daripada apa yang mungkin sedikit diketahui Sukarno mengenai kerajaan-kerajaan Jawa. Keadaan-keadaan pada abad kedua puluh hanya sedikit yang dapat diperbandingkan dengan masa prakolonial. Indonesia merupakan bagian dari tatanan internasional yang bersifat bersaing dan dipengaruhi oleh bangsa-bangsa lain dengan cara yang berbeda sama sekali dengan kerajaan-kerajaan kuno. Meledaknya jumlah penduduk serta terjadinya revolusi di bidang komunikasi dan teknologi berarti semakin jauh lebih potensial bagi suatu tatanan dalam negeri yang otoriter. Rakyat dapat diamati, diberi informasi, dimobilisasikan, atau dipaksa dengan lebih berhasil daripada di setiap kerajaan kuno. Jepang, bahkan lebih daripada Belanda, telah menunjukkan bagaimana kesemuanya itu dapat dilakukan.

Ketika Sukarno dan kekuatan-kekuatan politik lainnya meraba-raba jalan mereka ke arah suatu tatanan yang lebih otoriter, maka dalam beberapa hal mereka kembali ke sesuatu yang lebih kuno.

Bagaimanapun juga, mereka lebih condong kembali ke gagasan-gagasan negara-negara yang bersifat menindas seperti Belanda dan terutama Jepang daripada ke gagasan-gagasan kerajaan-kerajaan Jawa kuno yang hampir tidak mereka ketahui sama sekali. Penjajahan Belanda dan Jepang merupakan bentuk-bentuk pemerintahan yang sudah dikenal oleh kalangan elite dan yang, meskipun mempunyai segala kekurangannya, setidak-tidaknya tampak menjadi lebih efektif daripada sistem multipartai dari tahun 1950. Tampak jelas bahwa pada tahun 1957 partai-partai politik berada pada posisi defensif, tetapi rasa saling permusuhan di antara mereka terlalu berat bagi mereka untuk bekerja sama dalam mempertahankan sistem parlementer. Pada bulan April 1957 Sukarno mengumumkan pembentukan suatu Kabinet Karya di bawah seorang politisi nonpartai, Djuanda Kartawidjaja (1911-63), sebagai Perdana Menteri. 

Djuanda telah duduk dalam hampir setiap kabinet sejak tahun 1945 dan dihormati sebagai orang yang cakap dan bijaksana yang mempunyai pengetahuan tentang ekonomi. Salah seorang kepercayaan Sukarno yang paling dekat, Chaerul Saleh (1916-67), masuk di dalam kabinet tersebut sebagai Menteri Urusan Veteran. Dia adalah salah seorang di antara para pemimpin pemuda yang telah mendesak Sukarno das Hatta agar menyatakan kemerdekaan pada tahun 1945, dan telah mengikuti jejak Tan Malaka dalam Revolusi; dia ditangkap oleh pihak tentara, di bebaskan oleh Yamin pada bulan Juni 1951, dan kemudian ditangkap lagi oleh tentara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun