Reon meraih tangan Aruna dan menggenggamnya. Tapi wanita itu tidak lagi merasakan kehangatan.Â
"Ini pekerjaan yang kuimpikan dari dulu, Run. Jarak Malang-Jakarta memang jauh tapi kita masih bisa video call, kan?"
Aruna tidak membalas perkataan Reon. Semua berakhir begitu saja. Sejak hari itu Aruna menyesali keputusannya dan kembali menghubungi Reon, tapi lelaki itu tidak pernah membalasnya. Wanita itu jadi menghabiskan waktu buat menebak bagaimana perasaan Reon padanya.
"Jujur ya, Run. Lo itu membuang kesempatan emas buat bahagia. Gue yakin, Reon udah bahagia dengan pilihannya. Nah, lo mau sampai kapan mengasihani diri dan berharap sama dia?"
Aruna kembali menatap sahabatnya yang mengembalikannya pada masa kini.Â
"Tapi gue yakin Reon masih suka sama gue. Sebentar lagi dia pasti hubungin gue dan minta maaf karena udah buat gue nunggu lama."
Amel melongo tak percaya dengan apa yang didengarnya. Entah dari mana Aruna punya keyakinan yang begitu kuat. Memang benar kan, kalau Aruna ini nggak bisa dibilangin?
"Okay, terserah lo deh sekarang. Gue kemari mau memastikan acara buat minggu depan. Lo udah siapin semua? Ada yang perlu gue bantu?"
Amel akan mengadakan syukuran karena ia mendapat pekerjaan baru yang lebih baik. Ia meminta tolong Aruna buat menyiapkan makanan dan dekorasi tempat. Amel hanya ingin memastikan Aruna benar-benar sibuk dan tidak tenggelam dalam kenangan bersama Reon. "Semua pesanan minggu ini pasti selesai. Soal dekorasi dan acara, ada team gue yang siap bikin acara lo jadi makin berkesan."
Amel mengangguk ketika ia melihat desainnya. Yah, all is well. Tapi untuk kali ini, Aruna tidak perlu tahu kalau Reon mau datang juga. Nanti Aruna malah jadi terlalu berharap dan semua akan menjadi rumit.
**