Mohon tunggu...
Yuli Setiawan
Yuli Setiawan Mohon Tunggu... -

(kosong untuk sementara)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nagato & Burung Belibis

25 Agustus 2012   06:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:21 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bila kepedihan adalah takdirku, maka aku akan menghancurkan takdir itu,” Nagato berbisik pelan. Matanya menerawang jauh ke masa lalu. Tubuh kurusnya memang terbuat dari campuran kepedihan, ketersesatan dan keputusasaan. Langkah kakinya tak lebih dikarenakan cemeti dendam yang tak berkesudahan. Dengan kekuatannya yang begitu sakti, Ia berusaha membuat dunia tahu apa yang ia rasakan. Karena menurutnya hanya manusia yang mengalami kepedihan tak terhinggalah yang akan mampu mencapai keadaan luhur umat manusia; dimana manusia dapat benar-benar dapat saling mengerti satu sama lain.

Kita memang cenderung untuk berbagi, sering kali masalah hati. Karena di dunia di mana manusia bisa menjual apapun, termasuk harga diri dan dirinya sendiri, hati bisa cenderung lebih murah. Tunduk terhadap hukum permintaan, maka pada akhirnya masalah hati syah untuk diobral dan dilacurkan. Hal ini lalu melahirkan roman-roman picisan dan sinetron-sinetron yang tidak masuk akal - yang seperti air laut, semakin kita minum semakin mencekat tenggorokan. Hati menjadi semakin kering akan zat hidupnya bukan karena sering digunakan namun lebih karena terlalu lelah menghadapi gempuran rasa culas, dengki dan serakah yang seakan-akan tiada habisnya di masa kini.

Masyarakat
menyerang pengayomnya sendiri, mereka menghujat pemimpinnya dan mencemooh para wakilnya. Sebagian dari kita tercengang. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Bagaimana mungkin dunia sudah sedemikian terjungkir? Dan dengan hati bergetar kita bertanya, benarkah kita hidup di masa kali yuga – sebuah periode akhir jaman dalam mitologi Hindu yang ditandai dengan huru-hara besar? Atau mungkinkah ini hanya satu lakon dari rangkaian lakon dalam sepanjang sejarah hidup manusia yang hampir selalu sama – karena kita tahu, manusia telah gemar menumpahkan darah saudaranya sejak awal. Konon, malaikatpun bergidik saat Tuhan berencana menciptkan makhluk ini.

Toh Tuhan memberi mereka Bumi, Tuhan juga memberi mereka nabi. Tapi apakah manusia harus menyakiti manusia yang lain agar mereka bisa saling mengerti? Tidak adakah cara lain yang lebih beradab?

Bila kau ingin didengar, maka panggilan nama orang itu. Jika ia tak (mau) mendengar maka tepuklah tubuhnya dan bila ia tetap tak berpaling maka kau perlu memukul kepalanya dengan palu,” kata Sang Pembunuh itu, John Doe, dengan yakin “ maka ia akan mendengarmu.” Beberapa jam kemudian Detektif David Mills menambak kepalanya. Sang Detektif kehilangan kendali saat menemukan kepala istrinya di dalam gardus yang John Doe sengaja paketkan khusus untuknya. John Doe mungkin pantas mati. Sang pemburu tujuh dosa besar itu kelewat berbahaya bila dibiarkan hidup. Tapi bukankah John Doe tidak sepenuhnya salah? Mendengar memang adalah keharusan yang unik pada diri manusia. Dengan mendengar kita bisa membuat diri kita memahami apa yang orang lain rasakan. Dan dengan didengar pula kita menjadi tahu bahwa kita masih ada di dunia ini.

Masalah
memang banyak tidak selesai dengan mendengar saja. Kita membutuhkan tindakan nyata untuk hal itu. Sayangnya tidak ada rumus eksak satu pun yang mampu menyadiakan jawaban yang memuaskan. Jalan menuju satu tujuan pun sering kali bertentangan. John Doe dan Nagato, bukankah tindakan mengerikan mereka pun dilandasi rasa keadilan yang mendalam? Mereka yang disingkirkan dan memiliki kemampuan  cenderung melihat satu celah; protes. Dan protes sering kali bukanlah hal yang menyenangkan. Dia lebih sering berakhir pada anarkisme dan memakan anak-anaknya sendiri. Karena saat Tuhan telah menitahkan air mata menjadi magma, maka dimata Goenawan Muhammad, belas tak lain adalah iblis, burung-burung belibis yang terbang membawa bara dan melempari pasukan revolusi dengan besi dan api. Dan manusia berteriak “Ababil – Ababil !!” maka bumi pun perang sabil.

Tuhan, aku mengembara di negeri asing” demikian Chairil Anwar menulis dalam termangunya. Ia yang sedang merasakan panas suci cahaya Tuhan tak akan bisa berpaling, tak satu pun dari kita bisa, saat di depan pintu-Nya ia mengetuk. Kita tak pernah tahu negeri asing macam apa  di balik pintu itu, tapi mungkin Nagato dan John Doe bisa menjawabnya. Mereka mungkin akan menunjuk sebuah negeri dimana tidak ada kemalasan, kemarahan, kerakusan, kecemburuan, birahi, ketamakan dan kesombongan. Sebuah negeri dimana manusia bisa saling mengerti satu sama lain. Kita mungkin lebih mengenal negeri itu dengan nama yang lebih akrab; sebuah surga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun