Perlukah UN diselenggarakan lagi? Masalah ini  menjadi topik diskusi yang demikian hangat akhir akhir ini. Tak luput juga di sekolah tempat saya mengajar.
Yang tidak setuju dengan keberadaan UN,  punya  berbagai alasan demikian juga yang mendukung diadakannya kembali UN.
Bagi yang tidak setuju diadakannya UN beberapa alasannya adalah adanya UN akan membuat siswa makin stress karena tegang , dan hal tersebut mempunyai dampak kesehatan mental bagi mereka.
UN juga dipandang hanya menilai aspek kognitif saja. Padahal setiap siswa mempunyai kecerdasan dan cara belajar yang berbeda karena siswa adalah individu yang unik
Adanya UN juga membuat pembelajaran lebih banyak berfokus pada persiapan ujian terutama di tingkat akhir.Â
Di tingkat akhir, pembelajaran di kelas tidak berfokus pada pembelajaran yang menyenangkan, mengajak berpikir kritis dan pembinaan karakter tapi pada drill soal agar siswa bisa mengerjakan soal ujian.Â
Bahkan di beberapa sekolah, materi kelas akhir sudah dihabiskan di semester gasal. Di semester akhir tinggal full latihan soal. Sebagai pengajar matematika saya dan selalu masuk dalam tim inti untuk memberikan bimbel atau drill pada siswa sehingga bisa merasakan bagaimana kerja keras guru juga siswa dalam mempersiapkan diri guna menghadapi UNÂ
Belum lagi kecurangan-kecurangan yang timbul, seperti membeli jawaban ataupun  menyebarkan kunci jawaban.
Bagaimana sesudah UN tidak ada?
Sebagai pengajar yang langsung berhadapan dengan siswa kami bisa merasakan akibat dari tidak adanya UN.
Terjadi banyak perubahan dalam pembelajaran terutama di kelas akhir (saya memegang kelas sembilan).Â
Guru lebih bisa mengembangkan berbagai metode pembelajaran yang menyenangkan. Kami tidak lagi dikejar-kejar waktu untuk segera menghabiskan materi. Kecepatan pembelajaran dijalankan sesuai dengan  kemampuan dan gaya belajar siswa.
Berbagai ice breaking bisa dilaksanakan. Yang penting siswa senang dan pelajaran bisa masuk dalam benak siswa.
Tidak ada lagi bimbel yang memaksa kami mengajar pagi-pagi benar atau memberi tambahan pelajaran pada siswa yang kurang. Akhir tahun pelajaran terasa lebih 'ringan' daripada semasa ada UN.
Tapi apa hal lain yang timbul?
Siswa menjadi lebih 'santai'. Tidak ada lagi semangat yang begitu tinggi untuk menguasai materi atau mendapatkan nilai yang tertinggi. Â Alat ukur yang dipakai masing masing guru tidak sama meski kami sudah berusaha menyamakan lewat MGMP.
Motivasi yang rendah, membuat banyak siswa malas untuk  menghafal  bahkan untuk materi yang sederhana. Tidak ada 'greget'.  Tidak semua siswa seperti itu memang, tapi jumlahnya cukup banyak.
Sebagai pengajar kelas sembilan saya sangat prihatin menghadapi kenyataan bahwa siswa saya masih banyak yang tidak hafal perkalian 1-100. Kemampuan hitung dan matematika anak-anak sangat merosot. Dan hal ini ternyata juga terjadi pada mata pelajaran yang lain.
Suatu saat saya terlibat diskusi dengan guru IPA. Dengan gemas  teman saya yang sedang membahas materi hukum Coloumb ini bercerita bahwa anak-anak sulit sekali melakukan hitungan padahal rumus sudah disediakan dan angka tinggal memasukkan.
Duh, bagaimana mungkin bisa mereka menggunakan rumus tersebut jika perkalian sederhana saja tidak bisa, pikir saya.
Sebenarnya penurunan motivasi belajar siswa sekarang ini disebabkan oleh banyak hal. Belajar di rumah dia tahun selama pandemi, penggunaan gadget berlebihan memang sangat berpengaruh, tapi penurunan motivasi belajar siswa karena tidak adanya UN tidak bisa diabaikan begitu saja. Ini yang membuat beberapa di antara kami setuju dengan diadakannya UN.
Ketika UN diganti dengan ANBK siswa merasa lebih lega juga guru, terutama yang mengajar di tingkat akhir.Â
ANBK yang terdiri atas AKM ,survey karakter dan lingkungan belajar ini dalam pelaksanaannya tidak seberat UN. Ya, karena hasil ANBK digunakan untuk melihat kondisi  sekolah, bukan menilai siswa.Â
Di awal pelaksanaannya Bapak Menteri saat itu mengatakan bahwa siswa tidak perlu terlalu tegang menghadapi ANBK, tidak ada bimbel ANBK dan tidak perlu persiapan khusus, biarkan semua berjalan alami.Â
Alhasil, siswa merasa sudah tidak perlu ngotot lagi belajar meski yang diujikan di AKM soalnya juga tidak mudah.
Tidak seluruh siswa mengikuti ANBK. Hanya sekitar 45 siswa yang diambil sebagai sampel untuk mengikuti ANBK. Peserta diambil dari siswa berkemampuan rendah, sedang dan tinggi termasuk juga dilihat dari latar belakang sosial ekonominya
Pengambilan siswa yang hanya sebagian ini membuat 'kesakralan' ANBK semakin berkurang. Siswa merasa bahwa ANBK tidak wajib. Bahkan pernah ada orang tua siswa di sekolah kami yang menolak anaknya diikutkan ANBK karena takut jika  anaknya merasa tertekan.
Akhirnya di kelas delapan tidak semua anak mengikuti ANBK dan di kelas sembilan anak anak tidak ada UN. Masih ditambah lagi dengan PPDB nya zonasi pula. Nilai tidak bisa bicara banyak saat PPDB.Â
Semakin tidak ada tantangan. 'Los' pokoknya, itu istilah teman-teman.Â
Sebagai pelaksana di lapangan adanya kabar bahwa UN akan diadakan lagi menjadi sesuatu yang menarik bagi kami. Tentunya seiring dengan harapan diadakannya UN akan membuat motivasi belajar siswa akan semakin naik. Paling tidak mereka bisa menjadi lebih 'niat' belajar.
Seandainya UN memang diadakan kembali harapan kami semoga UN bisa dilakukan dengan jujur, sehingga bisa diperoleh data valid sehingga hasilnya bisa digunakan untuk acuan perbaikan pembelajaran di sekolah sekolah.Â
UN bisa dijadikan sebagai sebuah standar yang harus dicapai agar kualitas pendidikan di Indonesia semakin merata.
Dan yang paling penting jangan menjadikan UN sebagai syarat kelulusan. Jika ini terjadi maka siswa akan stress di tingkat akhir sekolah mereka.
Di tahun terakhir, materi akan terus dijejalkan pada siswa agar cepat habis, Â supaya segera bisa dilakukan drill untuk menghadapi UN.
Majulah pendidikan Indonesia, dan salam edukasi..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI