Pada 5 Juli 1920 seluruh kegiatan pendidikan STOVIA secara resmi dipindahkan ke jalan Salemba yang  sekarang kita dengan "Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia".
Novel dengan setting waktu 1918-1928 ini bercerita tentang perjuangan empat sekawan yaitu Yansen, Hilman, Arsan dan Sudiro selama bersekolah di STOVIA untuk mewujudkan cita cita mereka menjadi seorang dokter.
Keempatnya berasal dari latar belakang yang berbeda. Yansen berasal dari Minahasa, Hilman dari Sunda, Arsan pemuda Minang dan Sudiro dari Jawa.
Banyak peristiwa mewarnai perjuangan mereka yang akhirnya semakin mempererat persahabatan keempatnya untuk bersama berjuang mewujudkan cita-cita.
Selain bercerita tentang perjuangan meraih cita cita buku setebal 350 halaman  ini bercerita meraih perjuangan untuk meraih kesetaraan.Â
Di mana pada saat itu terjadi perbedaan perlakuan pada orang Jawa, ya, orang Jawa harus selalu memakai blangkon dan tidak boleh bersepatu.
Kesetaraan pada perbedaan agama juga disinggung di sini yaitu di bagian Ramadan, di mana siswa yang beragama Islam secara sembunyi sembunyi ingin gembira merayakan datangnya Ramadhan dengan bermain petasan. Dan bisa ditebak, Mereka ketahuan dan mendapatkan hukuman dari pihak sekolah.
Dalam buku ini ditunjukkan bahwa jalan untuk meraih cita cita tidaklah mudah. Cobaan dan rintangan datang silih berganti.Â
Tentang Arsan yang hendak dinikahkan oleh ninik mamaknya, Sudiro yang ayahnya menjadi korban gempa besar di Purworejo, Hilman yang terlibat cinta dengan seorang nyai, juga Yansen yang terlibat perkelahian dengan Hilman karena nyai tersebut ternyata adalah mantan kekasihnya di Minahasa.
Ditulis di bagian belakang bahwa novel ini adalah perwujudan keinginan pengarangnya untuk memberikan pendidikan sejarah pada generasi muda, dan Sania Rasyid berhasil untuk itu.