Nah, apa akibatnya? Keinginan siswa untuk mendapatkan nilai tinggi sangat menurun. Jika dulu sesudah ujian akan ada beberapa siswa yang saling berdiskusi tentang soal yang baru dikerjakan, sekarang hal tersebut sudah sangat jarang terjadi.
Lha untuk apa? Mendapat nilai ujian tinggi juga tidak menjamin siswa diterima di sekolah yang diinginkan. Bahkan pernah dalam sebuah kesempatan penerimaan SKL, seorang wali murid bertanya pada saya. "Bu, nilai ini untuk apa ya?"Â
Wajar pertanyaan tersebut muncul karena sebelum penerimaan SKL mereka sudah verifikasi nilai untuk PPDB dengan menggunakan nilai rapor semester 1-5.
Akhirnya ada banyak hal baik yang bisa diperoleh dari pelaksanaan sistem zonasi dan peniadaan Ujian Nasional, namun hal buruknya juga tidak dapat diabaikan begitu saja.Â
Adalah hal yang sangat melegakan ketika UN tidak dijadikan syarat kelulusan siswa, tapi penghapusan UN dan diganti dengan ANBK membuat siswa semakin merasa "nyaman", mengingat peserta ANBK bukan seluruh siswa tapi hanya 45 orang saja.Â
Setelah sekian tahun melaksanakan PPDB zonasi dan meniadakan UN kiranya perlu dilakukan penelitian tentang apa yang terjadi di lapangan, agar bisa dilakukan terobosan agar motivasi belajar siswa tidak terus menurun.
Harapannya jangan sampai peniadaan UN yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan sistem zonasi yang dilaksanakan dengan semangat pemerataan mutu pendidikan, justru melemahkan motivasi belajar siswa.
Tentang zonasi, perlu kita catat bahwa di awal pelaksanaannya di tahun 2016 semangatnya adalah agar mutu pendidikan semakin merata. Tidak ada kesenjangan mutu pendidikan antar sekolah di Indonesia.
Kalimat yang sering digaungkan saat itu adalah tidak ada sekolah unggulan karena semua sekolah adalah unggul.Â
Tapi jika motivasi belajar siswa semakin lemah, yang dikhawatirkan di lapangan adalah dengan sistem ini tidak ada sekolah unggulan karena semua sekolah tidak unggul.