Ingatan saya langsung melompat ke masa SMP. Ini sepertinya suara ketua kelas saya, pikir saya.
"Hei, ini ketua kelasku pas SMP ya?" kata saya antusias. Saya tidak sadar mulai masuk jebakannya.
"Benar... masih ingat kamu.., masih di Malang ya?" tanya 'teman' saya lagi.
"Masih..," pembicaraan terus berlanjut. Keberangkatan untuk silaturahmi tertunda sebentar.
"Anakmu berapa?" Lanjutnya. Nah, khasnya orang seusia saya, pembicaraan langsung masuk ke masalah anak.Â
Pintarnya 'teman' saya ini tahu satu demi satu nama teman-teman yang lain dan membicarakannya. Ia berhasil menggiring saya dalam obrolan nostalgia.
Namun pada sebuah titik pembicaraan, saya mulai merasakan kejanggalan.Â
Teman ini mulai memuji-muji saya. Dan saya merasakan pujian tersebut mulai over dosis.Â
Ia mengatakan saya suka olah raga, pintar, tinggi semampai dan cantik seperti peragawati.Â
He..he... pujian terakhir ini yang sangat berlebihan. Kriteria cantik seperti peragawati benar-benar jauh dari diri saya. Sebagai gambaran, semasa SMP saya suka basket atau bersepeda ke mana-mana, jadi bisa dibayangkan seperti apa penampilan saya saat itu.
Saya mulai curiga dan kurang antusias. Pembicaraan semakin 'nggladrah', mulai tidak sambung. Dan di akhir pembicaraan ternyata dia minta ditransfer sejumlah uang, katanya ada keperluan untuk membayar cicilan kredit sepeda anaknya.