Ongkos naik odong- odong cukup murah. Lima ribu rupiah per orang. Karenanya penarik odong-odong selalu menawari orang lewat dengan kata, "Mang ewu... mang ewu....." ( limang ewu atau lima ribu rupiah).
Daya tarik alun-alun yang lain adalah adanya masjid Jamik. Masjid yang mulai dibangun tahun 1890 ini setia mengumandangkan qiroah setiap menjelang dilaksanakannya azan.
Dengan adanya Masjid Jamik, segayeng apapun kita berada di alun-alun, waktu azan berkumandang kita segera bisa ke masjid untuk ikut sholat berjamaah.
Alun-alun Merdeka semakin banyak dikunjungi nanti saat "Maleman". Maleman adalah melaksanakan sholat malam bersama, mulai dari Ramadhan malam ke 21 sampai malam ke 29 atau 30.
Sore itu langit agak mendung dan angin sesekali bertiup kencang. Meski demikian, niat warga Malang untuk ngabuburit di Alun-alun tidak berkurang. Hal ini ditandai dengan banyaknya orang yang datang ke Alun-alun Merdeka.
Ada yang sekedar duduk-duduk, ngobrol dengan teman, memberi makan burung merpati, ataupun menjaga anak yang sedang bermain. Sesekali terdengar jerit anak anak kecil yang bermain kejar-kejaran.
Suara qiroah dari Masjid Jamik begitu merdu terdengar. Suara yang menandakan saat Maghrib sudah semakin dekat.
 Alun-alun masih ramai. Beberapa orang mulai berjalan menuju Masjid Jamik untuk persiapan takjil bareng dan melaksanakan sholat Maghrib bersama.Â
Suasana terasa demikian hangat dan akrab. Apalagi ketika tampak beberapa orang di sekitar saya menyiapkan makanan untuk buka bersama sambil menggelar tikar di Alun-alun Merdeka. Aha....