Apalagi pada Yayan yang begitu akrab dengan Dadik anak Bulik Surti satu satunya.
"Pak, kalau galak gampil ku itu buat beli HP kurang berapa ya?"tanya Yayan lagi.
Bapak menghela nafas . Diletakkannya obeng yang dari tadi dipakai untuk memperbaiki magic jar yang rusak.
"Kenapa harus beli HP? Pinjam punya ibuk atau bapak 'kan bisa?" jawab bapak lagi.
Yayan mulai cemberut.
"Tidak enak Pak.. pinjam-pinjam terus.., lagipula HP bapak dan ibuk kurang support kalau buat nge-game..,"
"Halah, game-game terus ae.. sebentar lagi sudah masuk sekolah, Le...," jawab bapak sambil kembali meneruskan pekerjaannya.
Wajah Yayan semakin mendung. Bapak selalu begitu, pikirnya.
"Yayan, ayo ndang tidur sana..," kata ibuk sambil menggendong Sari yang tertidur di bangku menuju ke kamar. Â Yayan mengikuti ibuk dari belakang. Â
"Buk, aku jadi dibelikan HP atau tidak?" tanya Yayan sambil membaringkan tubuhnya di dipan. Ada dua dipan di kamar mereka. Satu buat Sari, satu buat Yayan.
"Jadi Le.., tapi kan masih kurang uangnya?" jawab ibuk sabar.
"Mudah-mudahan besok Bulik Surti datang ya Buk? Biasanya galak gampilnya banyak," kata Yayan lagi.
"Hush, tidak boleh arep-arep begitu.. tidak baik," kata ibuk mengingatkan.
Yayan tersenyum kecil. Guru agamanya juga bilang begitu. Tidak boleh mengharap bahkan minta uang saat lebaran. Mengurangi keikhlasan silaturahmi, kata bu guru.
Tapi dari lebaran ke lebaran tiap anak pasti hafal siapa saja saudara yang selalu memberi galak gampil. Utamanya yang jumlahnya banyak.
Ibuk keluar dari kamar anak-anak meninggalkan Yayan yang masih berkutat dengan bayangannya tentang HP baru.