Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Perang Sajadah, Kisah Ramadhan yang Tak Terlupakan

2 April 2023   23:17 Diperbarui: 2 April 2023   23:39 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi langgar kampung, sumber berita: GardaBerita.com

Tantangan samber hari kedua ini sangat menarik. Dalam tulisan ini saya akan sedikit bercerita tentang kenangan Ramadhan di masa kecil.

Masa kecil yang penuh cerita. Masa dimana kita bisa merayakan saat -saat istimewa dengan cara yang sederhana.

***
Nawaitu shauma ghadin
'an ad'i fardhi syahri
Ramadhani hadzihis sanati
fardholillhi ta'la. 

Niat ingsun poso
Anutuk o sedino mene
Anekani Wulan Romadhon
Fardhol illahi ta ala...

Lagu pujian itu selalu memberi warna tersendiri di bulan Ramadhan. Saat lagu itu dikumandangkan di langgar, kami anak-anak kecil segera berlari menuju langgar yang letaknya di tengah kampung kami.

Lagu itu selalu dikumandangkan jamaah sesudah sholat qobliyah Isyak. Jadi jika lagu sudah berkumandang, pertanda sholat Isyak yang nantinya dilanjutkan dengan tarawih akan segera dimulai.

Dengan wajah cerah kami berangkat ke langgar. Tentu saja cerah. Perut kenyang habis berbuka puasa. Tidak seperti seharian yang kami lalui dengan lesu karena lapar.

Baca juga: Kisah Sang Marbot

Di langgar biasanya shof depan sudah penuh. Orang dewasa sudah datang lebih dahulu. Kami anak-anak kecil diletakkan di belakang. Apa sebabnya? Jelas, anak-anak kecil tidak bisa anteng. Umek, kata orang Jawa. Sibuk sendiri sehingga mengganggu konsentrasi yang lain.

Bagi kami anak kampung, puasa dan langgar adalah hal yang tak bisa dipisahkan. Saat ashar kami mengaji di langgar, Maghrib kadang mengambil takjil di langgar, habis buka langsung berangkat lagi ke langgar.

Karenanya tak heran di bulan puasa langgar kami selalu lebih 'hidup' dari pada di bulan yang lain. 

Banyak kejadian yang lucu di langgar saat Ramadhan. Yang paling saya ingat adalah saat kami 'perang sajadah' dan akhirnya dimarahi takmir karena jamaah terganggu oleh kegaduhan kami.

Bagaimana bisa? Begini ceritanya.
Di antara teman- teman sepermainan, kami punya satu orang teman yang sangat usil. Sebutlah namanya Joni. 

Joni selalu membuat ulah yang menjengkelkan kami. Entah menarik kuncir anak perempuan, tiba-tiba njegug (memukul punggung) sesama anak laki-laki atau kadang  menyembunyikan sandal kami.

Ilustrasi langgar kampung, sumber berita: GardaBerita.com
Ilustrasi langgar kampung, sumber berita: GardaBerita.com

Diam-diam sebenarnya kami punya dendam pada Joni, tapi kami agak takut karena badannya besar. Ya, dia anak terbesar di antara kami.

Malam itu saat sholat tarawih Joni kebetulan duduk dekat shof perempuan. Saat itu pembatas antara shof laki-laki dan perempuan berupa kelambu putih.

Kebetulan teman saya (yang berada di shof perempuan seperti saya) sajadahnya bersentuhan dengan sajadah Joni.

"Punya Joni," bisik saya. Dewi, teman saya ini agak terkejut. Melalui kelambu ia mengintip dan ternyata memang Joni ada di dekatnya. Mulailah sholatnya tidak khusyuk . 

Ya, Dewi punya dendam tertentu pada Joni karena saat mengaji sandalnya sering disembunyikan.

"Awas ya.., " bisiknya. Waduh, saya merasa jadi provokator jadinya.. akan ada kejadian apa ini?

Di dua rakaat kedua saat sholat tarawih Dewi beristirahat.
"Aku ngaso dulu ya," katanya. Oh ya, sholat di langgar dilaksanakan 23 rakaat. Jadi ada banyak kesempatan bagi kami untuk beristirahat. He..he...

Ketika sholat dimulai Dewi menarik sajadah Joni. Yang ditarik tak bisa membalas, tentu saja, ia kan sedang sholat.

Di dua rakaat ketiga rupanya Joni tidak mau kalah. Ganti ia menarik sajadah Dewi. Kini ganti Dewi yang tak bisa membalas karena sedang sholat.

Di dua rakaat keempat terjadilah peristiwa itu. Ketika semua sholat, Dewi dan Joni  tidak sholat . Dewi menarik sajadah Joni. Dan yang ditarik tak mau kalah. 

Melihat perjuangan Dewi, dengan rasa setia kawan saya ikut-ikutan tidak sholat dan membantunya menarik sajadah sekuat tenaga.
Kelambu bergoyang-goyang dan hampir terbuka, tapi rasa penasaran membuat 'perang sajadah' tidak berhenti. 

Kami baru sadar ketika jamaah mengucap  salam di akhir sholat dan menatap kami dengan wajah gemas
Takmir langgar langsung mendekati kami. Kami mulai gemetar.
"Ayo, mulih...!" kata takmir dengan wajah marah. 

Bergegas kami bertiga meninggalkan langgar dengan perasaan takut. Joni menatap marah pada kami.
"Awas yo .. ," katanya sambil mengepalkan tangannya.

"Mulih..!" kata Pak Takmir lagi.
Kami berjalan semakin cepat tanpa berani menoleh ke belakang.

Sejak itu pengawasan terhadap anak kecil saat sholat tarawih di langgar kami agak diperketat. Selalu ada orang dewasa yang duduk di antara kami saat tarawih sehingga jamaah sholat menjadi lebih tenang daripada biasanya. 

Waktu terus berlalu. Hingga kini jika bertemu saat lebaran dan ngobrol bersama, saya dan teman-teman selalu tertawa mengingat peristiwa itu. 

Salam Ramadhan...

Catatan :
Mulih : pulang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun