Suasana TPU demikian sepi. Hari masih begitu pagi. Daun pepohonan besar yang tumbuh di sepanjang jalan  bergoyang-goyang tertiup angin. Sesekali burung- burung kecil mencerecet sambil terbang dari satu pohon ke pohon yang lain.
Berdua kami berjalan di antara makam- makam. Dekat mushola TPU langkah kami berhenti. Kami memandang ke sana kemari dengan lebih teliti.
"Seingatku di daerah sini, Mas," kataku sambil terus memeriksa nisan-nisan di sekitarku. Mas diam. Matanya tetap  memperhatikan sekitarnya lebih seksama.
"Iya.., aku juga ingat tak jauh dari mushola ini.. ," jawab Mas kemudian. Â Rasa penasaran terus membuatnya mencari-cari seperti halnya aku. Â Membaca nama demi nama dari nisan-nisan tersebut.
"Masa hilang?" kataku resah.
Mas mendesah. Ada kesedihan tergambar di wajahnya. Hari ini seperti tahun- tahun terakhir ini  kami gagal menemukan makam bapak.Â
Bapak meninggal di akhir tahun 90 an. Cukup lama. Saat itu aku dan Mas kira-kira di awal usia dua puluhan.Â
Jarak usia yang tak terpaut jauh membuat kami begitu akrab. Kemana-mana bersama, sering juga bersama bapak.
 Tapi itu dulu. Sejak bapak meninggal dan kami berumah tangga semua tiba-tiba berubah.
Aku tinggal di Malang bersama ibuk sementara Mas merantau dan akhirnya tinggal dengan keluarganya di luar kota.
Komunikasi jarang kami lakukan. Ya, kami sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Merintis keluarga dari nol bukan hal yang mudah dan itu membuat kami konsentrasi dengan kehidupan kami masing-masing.