Tulisan ini terinspirasi dari tulisan Kompasianer Adian Saputra yang berjudul Argumentasi Kuat Mengapa Ranking Tetap Perlu Ditulis.Â
Ya, beberapa hari sebelum  membaca tulisan tersebut saya mendapat beberapa japri dari orang tua siswa yang menanyakan tentang rapor putera puterinya, utamanya masalah ranking.
***
Penerimaan rapor semester gasal telah dilaksanakan. Namun berbagai pertanyaan berkaitan dengan masalah rapor masih terus berdatangan, baik dari siswa maupun orang tua. Dan pertanyaan yang paling banyak masuk ke WhatsApp saya adalah masalah ranking.
"Bu, anak saya peringkat berapa ya?" atau "Bu, dengan nilai sekian anak saya posisinya di kelas bagaimana?"
Sebuah pertanyaan yang wajar dari orang tua. Sesudah perjuangan satu semester mereka ingin melihat hasilnya lewat rapor, dan melihat maksimal atau tidak hasil perjuangan itu paling mudah dengan membandingkan dengan punya teman atau melihat ranking.
Dalam penerapan kurikulum 2013 ranking sudah tidak dicantumkan lagi dalam rapor. Salah satu pertimbangannya adalah karena siswa itu unik, mereka punya kelebihan dan kekurangan masing masing. Kita tak bisa membandingkan anak yang pintar dalam matematika dengan anak yang pintar dalam olah raga misalnya.
Jadi pemandangan umum yang terjadi di masa lalu dimana saat penerimaan rapor selalu ada pengumuman tiga besar, lima besar atau sepuluh besar sekarang tidak lagi.
Semua siswa pintar, semua punya karakteristik masing-masing. Sekolah berusaha  mengetahui potensi siswa lalu  mengembangkannya. Yang dikembangkan sekarang adalah semangat kolaborasi, bukan kompetisi.
Tapi apakah perangkingan selalu buruk? Tidak juga. Berikut adalah sisi positif dan negatif dari perankingan rapor berdasarkan pengalaman saya sebagai orang tua dan guru.