Paling senang jika kompor yang digunakan penjual bakso adalah anglo dan menggunakan arang. Baunya sedap sekali.
Sepeda motor kami masuk parkiran Bakso Gangsar. Setelah mengunci, kami masuk warung dan tiba-tiba hujan kembali turun dengan derasnya.
Tepak wes.., mudah mudahan selesai makan , hujan reda lagi, pikir saya.
"Monggo, " kata Mas penjual ramah. Di warung tersebut kami selalu mengambil mangkok dan mengisi sendiri apa yang mau dimakan. Begitu juga mengambil kuah, brambang daun maupun brambang goreng sendiri.
"Wes, ambil sendiri, " kata saya pada Nak nang. Saya sendiri mengisi mangkok dengan dua bakso, tahu, siomay dan mie.
Tanpa disuruh dua kali Naknang mengisi mangkoknya. Satu bakso besar, dua bakso kecil, siomay, tahu, goreng panjang dan goreng bundar. Belum diberi kuah mangkok sepertinya tampak penuh.
Bakso halus terbuat dari daging yang digiling halus lalu diberi bumbu bawang, merica, garam, penyedap dan sedikit tepung lalu dicetak bulat bulat dan direbus.
Sedangkan bakso kasar, sama dengan bakso halus hanya saja kualitas dagingnya agak beda.
Jika bakso halus dagingnya tanpa lemak, bakso kasar ada sedikit lemak, dan kadang ada tulangnya yang lunak sehingga teksturnya agak kasar. Rasanya? Hmm, maknyus pokoknya, Apalagi dicocol dengan saos tomat atau sambal.
Siomay juga tak kalah lezat. Hidangan dari adonan ayam, sedikit udang, brambang, bawang, merica garam dan penyedap yang dibungkus dengan kulit pangsit lalu dikukus ini menyimpan pesona tersendiri.
Goreng bunder terbuat dari siomay yang digoreng. Sedangkan goreng panjang, isi adonannya mirip siomay hanya ditambahi usus. Cara membungkusnya juga memanjang sehingga kami namakan goreng panjang.
Saya tersenyum melihat isi mangkok Naknang. Penuh, seperti gunung Semeru.
"Luwe ya Le? "
Naknang melihat mangkoknya sambil tertawa
"Iya Buk, niki luwe pol..., " katanya.