Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ojo Dipikir Marahi Mumet

4 September 2022   18:30 Diperbarui: 4 September 2022   18:33 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar tradisional, Sumber gambar : Kompas.com

Mbak Menik menjalankan Varionya dengan santai. Vario lawas yang setia.

Wajahnya begitu cerah. Tidak ada yang seindah Minggu pagi memang. Minggu pagi selalu membuatnya agak bernafas lega. Ya, tidak tergesa-gesa seperti biasanya karena anak sekolah libur, termasuk Nanang putera semata wayangnya yang tiap hari masuk jam setengah tujuh .

"Belanja Mbak? " tanya Bu Pri di tepi jalan. Sepagi itu Bu Pri sudah pulang dari pasar sambil membawa tas kresek isi belanjaan.
"Inggih Bu, monggo, " jawab Mbak Menik ramah.

Pasar, itu tujuan utama Mbak Menik. Meski tidak terlalu jauh dari rumah ia lebih suka naik motor. Ya, kadang-kadang dari pasar ia juga ingin sedikit berkeliling mencari hawa segar.

Uang lima puluh ribu tersimpan rapi di dompet. Uang terakhir dari Mas Marno dua hari yang lalu.

Dua hari yang lalu Mas Marno dapat order memasang keramik di rumah tetangga. Alhamdulillah sehari diberi 200.000 . Walah, rezeki itu.. Biasanya juga 125.000-150.000.

Sebagai suami yang baik Mas Marno memberikan semua uangnya pada sang istri tercinta. Yang penting rokok, jangan sampai telat he.. he...

Ini hari ketiga, berarti sudah pantas kalau uangnya tinggal 50.000. Rencananya Mbak Menik mau memasak sop, tempe, tahu dan telor dadar. Sisanya buat uang saku  Nanang besok pagi.

Perkara belanja besok, gampanglah. Pasti ada rezeki, bisik hatinya yakin.

Sebelum belanja Mbak Menik bertekad melakukan survey pasar dulu pagi ini. Bukankah kemarin Pak Presiden sudah resmi mengumumkan kenaikan harga BBM? Apakah ada akibatnya?
Wah, pasti harga-harga naik semua. Efek domino kata orang orang pinter. Kenaikan BBM pasti membuat yang lain pada naik.

"Di sini Mbak.., " kata Mas Pardi tukang parkir pasar sambil menunjuk tempat yang kosong. Bergegas Mbak Menik memarkir sepedanya.
"Jangan dikunci setir ya, " kata Mas Pardi lagi.
"Inggih Mas, " kata Mbak Menik sambil mengangguk dan tersenyum, lalu bergegas masuk pasar.

Survey dimulai.
"Tempe pinten, Mbak? "
"Halaah, tetap.. Dua ribu, tahu dua ribu limaratus.., " jawab si penjual.
Mbak Menik tersenyum lega. Diraihnya dua tempe dan satu tahu. Perasaan agak beda, pikirnya. Oh ya, irisannya agak kecil. Meski sedikit Mbak Menik bisa merasa. Tapi tak apa-apalah.
Setelah membayar, bergegas ia menuju penjual telor.

"Telor pinten Bu? "
"28.000 sekilo.., " jawab si penjual.
Walah.. Katanya turun.. Masih mahal ternyata.
"Sekilo? " tanya penjual lagi.
"Seperempat saja, " kata Mbak Menik tersenyum.
Penjual ikut tersenyum , sambil mulai menimbang telor.

"Ayam pinten? " tanya Mbak Menik lagi. Kebetulan penjual telor juga berjualan ayam dan aneka bumbu.
"Tiga puluh tiga.."
Penjual menyodorkan telor pada Mbak Menik
"Ayamnya berapa? " tanya si penjual.
"Besok saja, " jawab Mbak Menik tersenyum. Manis..

Tujuan akhir ke pedagang sayur.
"Sop- sopan lima ribu, " kata Mbak Menik sambil menyodorkan uang sepuluh ribuan.
"Yang lima ribu lombok sama tomat, " tambahnya. Ya, apapun lauknya sambel harus ada. Karena itu stok lombok dan tomat tidak boleh kosong di tempat bumbu.

Dengan sigap pedagang sayur memasukkan aneka sayur untuk sop. Kubis, wortel, kentang, buncis, seledri, brambang daun, dan terakhir memasukkan lombok dan tomat.

"Wortelnya kok cuma dua? Biasanya tiga?" protes Mbak Menik.
Pedagang sayur tertawa renyah. Ia sudah mendapat banyak protes pagi ini.
" BBM naik Mbak... Alamat naik semua ini, " katanya sambil memberikan kresek berisi sop- sopan.

"Wah, alamat kalau sudah naik lupa turun ini, " kata pembeli di sebelahnya.
"Lha iya ta.. Semua kalau sudah naik ya sulit turunnya," jawab pedagang sayur.
Pembeli pada tertawa. Mbak Menik juga. Meski agak masam kali ini.

Waduh, sudah tempenya kecil, sayur sopnya sedikit pula, alamat makan juga dikurangi..
Gak apa-apa wes.. yang penting beras jangan ikut naik. Malah susah itu, hibur Mbak Menik pada dirinya sendiri.

"Ya, nasib wong cilik ya.. Manut ae wes..," kata pembeli yang lain lagi.
"Lha gak manut terus mau apa? Gak usah dipikir.. Marahi mumet.., " kata penjual sayur sambil tertawa.
"Iya wes, dijalani bareng saja, " timpal Mbak Menik disambut tawa renyah yang lain. Dengan sigap pembeli yang lain memilih sayuran. 

Mbak Menik menerima kresek dan segera menuju parkiran pasar.

Setelah membayar parkir, mesin dihidupkan, dan Vario mulai berjalan pelan. Angin bertiup perlahan.Hari ini tidak ada acara putar-putar cariangin. Semua harus dihemat.

Lewat depan kios Pak Man penjual jamu terdengar lagu yang hits akhir-akhir ini:

Joko Tingkir ngombe dhawet
Jok dipikir marahi mumet...

Mbak Menik tersenyum sendiri, tapi juga puyeng memikirkan trik apa yang harus dilakukan untuk menjaga stabilitas dapur dan ketahanan pangan di rumahnya.

Arti istilah : 

Ojo dipikir marahi mumet : jangan dipikir,membuat pusing kepala

Pinten : Berapa

Nasib wong cilik : nasib orang kecil

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun