Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Artikel Utama

Tak Ada Salahnya Sejenak Mundur ke Belakang untuk Mempelajari Matematika

3 September 2022   11:05 Diperbarui: 5 September 2022   07:20 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi belajar matematika (Sumber: shutterstock)

Di kala istirahat, kami sesama guru matematika selalu menyempatkan diri untuk berdiskusi. Diskusi berkisar tentang pembelajaran di kelas dan segala masalah yang timbul. Tentang bagaimana mengajarkan materi yang pas, atau juga kesulitan kesulitan yang muncul di lapangan.

Dalam beberapa diskusi terakhir ini, ternyata masalah yang kami hadapi hampir sama yaitu rendahnya kemampuan siswa dalam melakukan operasi hitung, akibat daring dua tahun benar-benar kami rasakan.

Indikasi dari penurunan kemampuan ini bisa dilihat dari kesulitan anak melalukan operasi hitung bahkan yang sangat sederhana. 

Operasi kali, bagi, tambah dan kurang begitu gagap dilakukan anak-anak padahal anak anak sudah duduk di tingkat SMP.

Jangankan melakukan operasi pada bilangan pecahan, bilangan bulat masih harus ditata lagi.

Dalam implementasi Kurikulum Merdeka, sebelum melaksanakan pembelajaran di awal materi harus dilaksanakan tes diagnostik. 

Tes diagnostik berfungsi untuk mengetahui gaya belajar siswa dan kesiapan siswa dalam menerima materi.

Ada beberapa hal menarik yang saya dapatkan dari pelaksanaan tes diagnostik sebelum pemberian materi bilangan bulat dan pecahan di kelas tujuh.

Mengalikan dengan perkalian bersusun, sumber gambar: wajibbaca.com
Mengalikan dengan perkalian bersusun, sumber gambar: wajibbaca.com
Ketika diminta menyelesaikan 2/5 + 1/5, masih banyak siswa yang menjawah 3/10.

Atau mengerjakan 3/8 x 1/4 dengan cara 3/8 x 1/4 = 3/8 x 2/8 = 6/64 = 3/32 pada saat siswa diminta untuk mengalikan 42,6 x 5, lama sekali jawaban baru muncul. Itupun harus ada satu orang yang melakukan perkalian bersusun di papan atas bimbingan guru.

Itu masih beberapa kasus yang muncul. Belum lagi pada aljabar. Bagaimana mencari nilai dari sebuah variabel, masih kacau di sana sini.

Berdasarkan pengalaman selama pembelajaran dan bimbingan individual terhadap siswa, ada beberapa catatan yang kami dapatkan:

Pertama, siswa kurang menguasai konsep matematika. Sebagai contoh, siswa masih rancu dengan cara melakukan operasi hitung pada bilangan pecahan.

Seharusnya ketika melakukan pengurangan atau penjumlahan pecahan, penyebut harus disamakan sementara pada operasi perkalian dan pembagian pecahan, penyebut tidak perlu disamakan.

Tapi pada contoh di atas, ketika mengerjakan 2/15 + 1/5, siswa langsung menjumlahkan pembilang dengan pembilang, penyebut dengan penyebut sehingga diperoleh 3/20, seharusnya ada proses menyamakan penyebut dahulu menjadi 2/15 + 1/5 =2/15 + 3/15 = 5/15 = 1/3.

Sebaliknya ketika mengalikan 3/8 x 1/4, siswa menyamakan penyebutnya dahulu dengan cara 3/8 x 1/4 = 3/8 x 2/8 = 6/64 = 3/32.
Padahal soal tersebut bisa diselesaikan dengan cara yang sangat simple yaitu 3/8 x 1/4 = 3/32. Cukup pembilang kali pembilang dan penyebut kali penyebut. Benar-benar pemahaman konsep yang terbolak-balik.

Siswa juga curhat bahwa saat daring mereka sulit memahami materi saat belajar lewat video atau zoom.

Ya, materi yang dibahas di atas adalah operasi bilangan pecahan kelas tujuh. Dasar dari operasi bilangan pecahan didapat siswa di kelas lima SD, dan mereka mendapatkannya full daring. Bisa jadi siswa memiliki gaya belajar kinestetik, sehingga tanpa praktek langsung ia kesulitan memahami materi.

Ilustrasi belakjar daring (sumber gambar: Republika)
Ilustrasi belakjar daring (sumber gambar: Republika)

Perlu diingat, matematika adalah pelajaran abstrak. Untuk tingkat SD atau SMP guru harus berusaha mengonkretkan yang abstrak tersebut dalam kehidupan nyata. Sering butuh bantuan peraga agar konsepnya bisa diterima siswa. Di masa daring hal tersebut sangat sulit dilakukan karena banyaknya batasan.

Hal tersebut diperparah dengan siswa tidak berani bertanya saat daring. Banyak siswa yang merasa jika bertanya ia akan tampak bodoh di hadapan teman-temannya.

Kedua, sering menggunakan kalkulator. Ketika saya tanyakan hal ini siswa senyum senyum mengiyakan. 

Pembelajaran daring selama hampir dua tahun membuat siswa merasa bebas dan sering menggunakan kalkulator dalam memecahkan masalah matematika.

Pada beberapa materi penggunaan kalkulator sebenarnya tidak dilarang, tapi untuk anak SD atau SMP sebaiknya jangan karena di tingkat tersebut dasar dasar menghitung mulai ditanamkan.

Ilustrasi jarimatika (sumber gambar: SehatQ)
Ilustrasi jarimatika (sumber gambar: SehatQ)
Akibatnya sekarang dalam pembelajaran matematika saya mengajak anak anak mundur sejenak. Ya, mundur untuk memantapkan lagi konsep matematika SD. 

Belajar bagaimana melakukan operasi hitung sederhana seperti perkalian bersusun, pembagian bersusun, operasi pecahan sederhana, bahkan mengingatkan lagi perkalian dengan jari atau jarimatika.

Tak apa, inilah pentingnya pelaksanaan tes diagnostik. Penguatan kembali atas konsep perlu dilakukan agar siswa bisa menerima materi berikutnya dengan lebih mudah.

Bukankah dalam kehidupan kadang kita harus mundur sejenak untuk membuat ancang-ancang agar bisa membuat lompatan yang lebih jauh ?

Salam matematika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun