Itu masih beberapa kasus yang muncul. Belum lagi pada aljabar. Bagaimana mencari nilai dari sebuah variabel, masih kacau di sana sini.
Berdasarkan pengalaman selama pembelajaran dan bimbingan individual terhadap siswa, ada beberapa catatan yang kami dapatkan:
Pertama, siswa kurang menguasai konsep matematika. Sebagai contoh, siswa masih rancu dengan cara melakukan operasi hitung pada bilangan pecahan.
Seharusnya ketika melakukan pengurangan atau penjumlahan pecahan, penyebut harus disamakan sementara pada operasi perkalian dan pembagian pecahan, penyebut tidak perlu disamakan.
Tapi pada contoh di atas, ketika mengerjakan 2/15 + 1/5, siswa langsung menjumlahkan pembilang dengan pembilang, penyebut dengan penyebut sehingga diperoleh 3/20, seharusnya ada proses menyamakan penyebut dahulu menjadi 2/15 + 1/5 =2/15 + 3/15 = 5/15 = 1/3.
Sebaliknya ketika mengalikan 3/8 x 1/4, siswa menyamakan penyebutnya dahulu dengan cara 3/8 x 1/4 = 3/8 x 2/8 = 6/64 = 3/32.
Padahal soal tersebut bisa diselesaikan dengan cara yang sangat simple yaitu 3/8 x 1/4 = 3/32. Cukup pembilang kali pembilang dan penyebut kali penyebut. Benar-benar pemahaman konsep yang terbolak-balik.
Siswa juga curhat bahwa saat daring mereka sulit memahami materi saat belajar lewat video atau zoom.
Ya, materi yang dibahas di atas adalah operasi bilangan pecahan kelas tujuh. Dasar dari operasi bilangan pecahan didapat siswa di kelas lima SD, dan mereka mendapatkannya full daring. Bisa jadi siswa memiliki gaya belajar kinestetik, sehingga tanpa praktek langsung ia kesulitan memahami materi.
Perlu diingat, matematika adalah pelajaran abstrak. Untuk tingkat SD atau SMP guru harus berusaha mengonkretkan yang abstrak tersebut dalam kehidupan nyata. Sering butuh bantuan peraga agar konsepnya bisa diterima siswa. Di masa daring hal tersebut sangat sulit dilakukan karena banyaknya batasan.
Hal tersebut diperparah dengan siswa tidak berani bertanya saat daring. Banyak siswa yang merasa jika bertanya ia akan tampak bodoh di hadapan teman-temannya.