Di Nusantara kebaya sebagai atasan dikombinasikan dengan bawahan dari kain khas daerah masing-masing. Contoh, kebaya di Jawa dipadukan dengan kain batik aneka motif.
Sementara itu, kebaya di Sumatera dikenakan dengan kain songket, tenun, dan sutra. Sedangkan kebaya umumnya terbuat dari kain tipis, seperti katun, sutera atau brokat.
Dalam sejarahnya kebaya selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Di sekitar tahun 1500, kebaya belum menjadi busana wanita pada umumnya. Ia masih menjadi pakaian khusus anggota keluarga raja di pulau Jawa.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dimana kain beludru , sutera, serta tenunan halus masuk ke Nusantara, penggunaan kebaya mulai disesuaikan dengan status sosial seseorang.
Keluarga keraton dan para bangsawan mengenakan kebaya yang terbuat dari bahan sutera, beludru atau brokat, sedangkan perempuan Belanda mengenakan kebaya yang terbuat dari bahan katun dengan bentuk dan potongan yang lebih pendek.
Keturunan Eropa lainnya yang berdiam di Indonesia mengenakan baju kebaya berbahan katun halus dengan hiasan brokat di pinggirnya, sedangkan rakyat biasa memakai kebaya dari bahan katun atau tenun yang harganya murah.
Tahun 1900, kebaya tidak hanya digunakan oleh penduduk asli Jawa tetapi juga dikenakan sebagai busana sehari-hari oleh perempuan keturunan Tionghoa maupun Belanda.
Makin lama penggunaan kebaya terus semakin meluas . Kebaya banyak dipakai oleh wanita Indonesia baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan.
Dalam perkembangannya para perancang busana pun terus berlomba membuat berbagai model kebaya yang serasi di badan dengan menggunakan beragam bahan kain kebaya yang indah, bahkan juga mewah.
Untuk menunjang keindahannya kadang pada kebaya dipadukan dengan unsur dari logam, kristal, juga manik-manik.
Kebaya Sebagai Kekayaan dan Identitas Budaya
Kebaya sebagai kekayaan budaya memiliki ciri khas di setiap daerah di Indonesia. Sebagai contoh kebaya Jawa Timuran berbeda dengan Jogjakarta, Bali, ataupun Sumatera.