Namun ternyata berbeda antara harapan dan kenyataan. Peminat les memang banyak, tapi tidak semua membayar. Ya, maklumlah saya tinggal di kampung dengan kondisi masyarakatnya yang beragam.
Dalam pandangan beberapa orang saat itu anak-anak bukan les tapi 'disinaoni'. Ada bedanya, kalau les harus membayar, kalau 'nyinaoni' ya tidak ada bayarannya.
Akhir bulan adalah saat yang saya tunggu- tunggu. Saat untuk mendapatkan uang les hasil jerih payah selama satu bulan, pikir saya.
Namun ternyata ada yang membayar, tapi banyak pula yang tidak. Ada yang membayar berupa uang , ada juga beras.
Sungguh saya merasa kecewa . Saya memberikan les supaya bisa membantu ibuk, tapi kenyataannya seperti itu.
"Kok tidak bayar semua ya, Buk? " kata saya pada ibuk saat itu.
Ibuk cuma tersenyum sambil menatap saya kasihan.
"Gak apa-apa Nduk, Gusti Allah iku sugih.. Pasti nanti diberi ganti yang lebih baik, "
"Sabar ya? " kata ibuk menentramkam
Sabar? Padahal saya tahu, kondisi ekonomi kami kian terpuruk. Tanggungan ibuk di warung semakin banyak.
Sedih rasanya. Meski les terus berjalan, uang saya tak begitu banyak. Jangankan membantu ibuk. Paling hanya cukup untuk sangu saya sendiri.
Tapi ketika saya berniat menghentikan les itu ibuk mencegah.
"Jangan Nduk, nanti pasti ada gantinya, " kata beliau.
Mungkin ibuk juga tidak enak dengan orang-orang kampung yang sudah terlanjur baik karena anaknya belajar di rumah.
Dalam kondisi seperti itu satu hal yang selalu saya ingat adalah ibuk begitu rajin berdoa. Tiap habis sholat saya melihat beliau terpekur daam doa yang begitu panjang.
Bahkan suatu malam saya mendengar doa ibu yang diucapkan dan membisikkan nama kami, anak-anaknya satu persatu. Saya begitu terharu mendengarnya.