Sore itu cuaca begitu cerah. Langit biru bersih tanpa awan, mentari menyapa kedatangan kami dengan sinarnya yang lembut. Ya, hari itu kami berjalan-jalan ke alun-alun Kota Malang.
Tentang Alun-alun
Hampir disetiap kota di Indonesia bisa dijumpai alun-alun. Misalnya di Yogyakarta, Banten, Lamongan, Tuban, Malang dan banyak lagi.
Kata alun-alun berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti lapangan terbuka yang luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan yang dapat digunakan untuk masyarakat berkegiatan.
Dari zaman ke zaman alun-alun menjadi tempat bagi kegiatan warga sekitarnya. Di masa lalu alun-alun pernah dijadikan tempat melakukan doa persembahan bagi warga yang akan mulai bercocok tanam, tempat melakukan pepe yaitu tradisi mengungkapkan aspirasi dari rakyat pada rajanya.
Di zaman kerajaan Islam alun-alun menjadi tempat melakukan sholat atau kegiatan keagamaan dan fungsi alun-alun terus berkembang menjadi pusat pemerintahan dan kegiatan kebudayaan.Â
Sehubungan dengan alun-alun, ada yang menarik di kota Malang , yaitu ada dua alun-alun di kota ini. Yang pertama adalah Alun-Alun Merdeka yang berlokasi di Jl. Merdeka dan Alun -Alun Bunder yang berada tepat di depan Balai Kota.Â
Berkunjung ke Alun-Alun Merdeka
Wajah-wajah ceria tampak di mana-mana. Beberapa orang tampak berfoto-foto, yang lain duduk-duduk di bawah pohon-pohon besar sambil merasakan segarnya suasana.
Suara jerit dan tawa anak-anak kecil, berpadu dengan lagu-lagu yang diperdengarkan dari odong-odong dan suara pedagang mainan yang menawarkan dagangannya, membuat suasana alun-alun terasa begitu ramai.Â
"Mang ewu.. Mang ewu.., " pengemudi kereta naga menawarkan pada siapa saja yang lewat terutama yang membawa anak kecil. Mang ewu artinya limang ewu atau lima ribu. Maksudnya ongkos naik kereta naga adalah lima ribu rupiah per orang.
Kami yang saat itu berjalan dengan dua anak kecil tak berpikir lama langsung naik.
"Monggo Bu.. Ayo.. Ayo.. Mang ewu... Mang ewu..., " kata pengemudi tadi mencari penumpang lainnya agar keretanya segera penuh.
Tak lama kemudian keretapun berangkat. Tak lupa pintu dirapatkan karena mayoritas penumpangnya adalah anak kecil.
 Perjalanan yang mengambil rute sekitar Alun-Alun Merdeka, Pecinan, Pasar Besar, Ramayana, dan kembali lagi ke alun-alun terasa begitu singkat, namun sangat menyenangkan. Setelah kereta berhenti kamipun berjalan-jalan ke tengah alun-alun.
 Di hari libur seperti ini suasana Alun-Alun Merdeka kembali ramai. Setelah dipaksa berhenti selama kurang lebih dua tahun oleh pandemi covid, kini aktivitas di Alun-Alun Merdeka Malang berangsur normal kembali. Ini bisa ditandai dengan banyaknya pedagang, stand-stand mainan dan ramainya pengunjung.
Alun-alun yang terletak di depan Masjid Jamik kota Malang ini mempunyai banyak tempat tempat untuk sejenak refreshing dari segala kesibukan setiap hari. Ada gazebo, tempat duduk-duduk di bawah pohon, spot foto yang menarik, mainan anak-anak, juga fasilitas olahraga.
Tak ketinggalan ada banyak burung merpati yang dengan jinak mendekati pengunjung, lalu terbang lagi ketika hendak dipegang. Benar-benar menggemaskan.Â
Namun agak sayang, ketika kami ke sana air mancur belum dihidupkan, mungkin karena hari masih terlalu sore.
Alun-Alun Merdeka dibangun pada tahun 1882. Konsep alun-alun ini dianggap menyalahi pakem karena berbeda jauh dengan konsep alun-alun di Jawa pada umumnya.
Biasanya alun-alun Jawa terletak tepat di depan pendopo kabupaten atau keraton dengan lapangan luas dan pohon besar. Namun Alun-Alun Merdeka ini terletak agak jauh dari pendopo dan menghadap ke selatan meskipun area sekitarnya juga mendukung pusat pemerintahan.
Tentang Alun-Alun Bunder
Dalam perkembangannya ternyata Alun-Alun Merdeka yang seharusnya eksklusif untuk pemerintah Belanda ini, seringkali dimanfaatkan penduduk pribumi untuk kegiatan sehari-hari. Misalnya menjual berbagai macam jajanan atau sekedar duduk-duduk di bawah pohon.Â
Melihat hal tersebut Belanda pun membiarkan Alun-Alun Merdeka menjadi taman biasa untuk rakyat pribumi dan ingin membuat alun-alun baru yang bergaya Eropa.Â
Akhirnya mulailah dibangun alun-alun berupa taman yang luas berbentuk bulat. Karena itu dinamakan Alun-Alun Bunder. Pembangunan Alun-Alun Bunder dimulai pada tahun 1917 dan selesai di tahun 1922 dengan nama asli JP Coen Plein. Pusat pemerintahan Malang yang saat itu menjadi Kotamadyapun dipindah di dekat alun-alun ini, dan menghadap utara.
Pada tahun 1946 Presiden Soekarno meresmikan sebuah tugu yang dibangun di tengah alun-alun ini, karenanya Alun-Alun Bunder juga dinamakan Alun-Alun Tugu.
Berbeda dengan Alun-Alun Merdeka yang selalu ramai, Alun-Alun Bunder tidak begitu memiliki banyak pengunjung. Suasana yang sepi dan dikelilingi gedung gedung penting membuat tampilan Alun-Alun Bunder terasa begitu indah dan berwibawa. Apalagi ketika teratai di kolam sekutar tugu mulai bermekaran, sungguh pemandangan yang begitu indah.Â
Bagi yang suka berfoto, Alun-alun Bunder adalah tempat yang menarik untuk selfie. Taman yang tertata rapi di sekitar kolam adalah lokasi swafoto yang begitu cantik.
Nama-nama jalan di sekitar Alun-alun Tugu memakai nama Belanda, menegaskan kentalnya nuansa kehidupan Belanda di Alun Alun Tugu di masa lalu.
Ya, dua alun-alun di kota Malang, semua menarik dengan ciri khas keindahan masing-masing. Jadi jika jalan-jalan ke kota Malang sahabat Kompasiana mau mampir ke alun-alun yang mana?
Sekian dan salam hangat dari kota Malang.. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H