Suara jerit dan tawa anak-anak kecil, berpadu dengan lagu-lagu yang diperdengarkan dari odong-odong dan suara pedagang mainan yang menawarkan dagangannya, membuat suasana alun-alun terasa begitu ramai.Â
"Mang ewu.. Mang ewu.., " pengemudi kereta naga menawarkan pada siapa saja yang lewat terutama yang membawa anak kecil. Mang ewu artinya limang ewu atau lima ribu. Maksudnya ongkos naik kereta naga adalah lima ribu rupiah per orang.
Kami yang saat itu berjalan dengan dua anak kecil tak berpikir lama langsung naik.
"Monggo Bu.. Ayo.. Ayo.. Mang ewu... Mang ewu..., " kata pengemudi tadi mencari penumpang lainnya agar keretanya segera penuh.
Tak lama kemudian keretapun berangkat. Tak lupa pintu dirapatkan karena mayoritas penumpangnya adalah anak kecil.
 Perjalanan yang mengambil rute sekitar Alun-Alun Merdeka, Pecinan, Pasar Besar, Ramayana, dan kembali lagi ke alun-alun terasa begitu singkat, namun sangat menyenangkan. Setelah kereta berhenti kamipun berjalan-jalan ke tengah alun-alun.
 Di hari libur seperti ini suasana Alun-Alun Merdeka kembali ramai. Setelah dipaksa berhenti selama kurang lebih dua tahun oleh pandemi covid, kini aktivitas di Alun-Alun Merdeka Malang berangsur normal kembali. Ini bisa ditandai dengan banyaknya pedagang, stand-stand mainan dan ramainya pengunjung.
Alun-alun yang terletak di depan Masjid Jamik kota Malang ini mempunyai banyak tempat tempat untuk sejenak refreshing dari segala kesibukan setiap hari. Ada gazebo, tempat duduk-duduk di bawah pohon, spot foto yang menarik, mainan anak-anak, juga fasilitas olahraga.
Tak ketinggalan ada banyak burung merpati yang dengan jinak mendekati pengunjung, lalu terbang lagi ketika hendak dipegang. Benar-benar menggemaskan.Â
Namun agak sayang, ketika kami ke sana air mancur belum dihidupkan, mungkin karena hari masih terlalu sore.
Alun-Alun Merdeka dibangun pada tahun 1882. Konsep alun-alun ini dianggap menyalahi pakem karena berbeda jauh dengan konsep alun-alun di Jawa pada umumnya.