Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sebuah Cerita Tentang Toleransi

17 April 2022   23:58 Diperbarui: 18 April 2022   00:11 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sebuah pertemanan, sumber gambar: Popbela. com

Perkenalan dan keakraban saya dengan Ibu Dewi berawal  ketika saya mengikuti diklat matematika di P4TK Jogjakarta yag diselenggarakan oleh SEAMEO selama lebih kurang dua minggu.  

Di awal diklat saat pembagian kamar, saya mendapatkan kamar nomor terakhir, karena di daftar nama saya nomor paling bawah. Mulai zaman sekolah, karena nama saya di awali dengan huruf y saya biasa mendapat nomor urut terakhir.

Nah,  karena jumlah peserta ganjil,  saya ternyata tidak ada temannya alias sendirian di kamar itu.  Kamar nomor 13 lagi..  Duh..

Di luar dugaan,  ternyata di kamar lain ada ada satu peserta yang  hadir terlambat karena sedang ada kesibukan lain. Oleh panitia saya langsung dipindah ke kamar tersebut. Senangnya..   Jadinya saya tidak sendirian karena saya satu kamar dengan Ibu Dewi.

Itulah awal perkenalan saya dengan Ibu Dewi.

Ibu Dewi adalah guru sebuah SMP Katholik di kota Bogor. 

 Orangnya masih muda,  bawaannya ramah dan lincah. Bersama Ibu Dewi mengerjakan tugas-tugas diklat menjadi lebih ringan karena orangnya terbuka dan menyenangkan diajak berdiskusi.

Dalam banyak hal kami berdua punya banyak kesamaan.  Suka matematika (tentu saja),  sering ikut olimpiade,  suka sejarah dan membaca.  Tiap malam sesudah mengerjakan tugas diklat kami ngobrol sampai malam tentang apa saja.  

Pengalamannya kuliah di Jogja,  tentang candi Borobudur,  Prambanan,  dan banyak lagi.  Kami begitu akrab.  Melihat Bu Dewi saya seperti melihat diri saya di masa muda. Semangatnya dalam bercerita dan menceritakan murid- muridnya.

Keyakinan kami yang berbeda sama sekali tidak menjadi penghalang bagi kami untuk selalu mengingatkan satu sama yang lain.

Dalam pandangan saya Ibu Dewi adalah pemeluk Katholik yang taat.  Saat itu saya ingat dia sedang menjalankan puasa beberapa hari menjelang Paskah.  
Di jam jam tertentu saya melihat Bu Dewi terdiam khusyuk dalam doa.  Dan semakin mendekati Paskah saya lihat Bu Dewi semakin sering ke gereja yang lokasinya berada di luar P4TK.  

"Nanti ke gereja jam berapa?" itu pertanyaan rutin saya ketika kami istirahat di kamar.  Biasanya Ibu Dewi berangkat ke gereja sore hari.

Ibu Dewi juga sering bertanya pada saya apakah  sudah sholat atau belum.  Terutama ketika azan sudah berkumandang tapi saya masih meneruskan kesibukan saya.
"Ibu tidak sholat dulu? "
Mendapat pertanyaan itu saya cepat-cepat mengambil air wudhu untuk sholat.  

Begitulah yang terjadi tiap hari. Kami saling mengingatkan,  baik dalam mengerjakan tugas diklat ataupun ibadah kami.

Tapi seakrab apapun akhirnya kami harus berpisah juga. Seiring dengan berakhirnya diklat, kami harus segera kembali ke kota masing-masing.  

Saat itu habis sholat ashar kami berpelukan penuh haru. Keakraban yang sudah terjalin rasanya sayang sekali untuk diakhiri.  

Ya,  beberapa jam lagi saya harus ke stasiun sementara Bu Dewi harus berkunjung dulu ke teman-teman kuliahnya di Jogja. Jadi saat dia balik kamar nanti,  saya sudah dalam perjalanan menuju kota Malang.  

Perkenalan dan keakraban saya dengan Ibu Dewi semakin membukakan mata hati saya tentang makna toleransi, bahwasanya perbedaan agama atau keyakinan tidak menjadi penghalang dari sebuah pertemanan yang tulus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun