Tabloid BOLA 38 Tahun Secuplik Kenangan Saat Bekerja di Sana", saya langsung mengirim link artikel tersebut lewat WhatsApp pada anak saya.
Setelah membaca artikel Kompasianer Dian S Hendroyono yang berjudul "Tulisan yang berkisah tentang kenangan Mbak Dian mulai bekerja di tabloid Bola hingga tabloid berhenti terbit sejak 1 Desember 2018 langsung ditanggapi anak saya.
"(Emot sedih) Aku beli tabloid ini Buk. Waktu itu aku mendapatkannya di Lempuyangan. Kalau tidak salah lagi ramai Derby antara AC Milan dan Inter."
Wih, padahal jarak kosnya ke Lempuyangan lumayan jauh.
Ketika muncul berita tentang tabloid BOLA yang berhenti terbit di tahun 2018, anak saya adalah salah satu dari banyak orang yang merasa kehilangan.
Saat itu ia mengirim pesan pada saya, "Buk, BOLA sudah tidak terbit lagi."
"Aduh, eman ya.., "jawab saya. Ya, saya tahu sekali bahwa dia dan adiknya adalah pecinta tabloid ini.
Dalam keluarga saya kehadiran koran dan sejenisnya adalah semacam hal wajib sejak dulu. Saat saya masih kecil bapak berlangganan Kompas dan Bobo.
Ketika di rumah sudah ada TV, langganan koran berhenti karena dianggap informasi berita bisa diperoleh dari TV, di samping juga untuk penghematan karena saat itu kami sudah masuk SMP dan biaya sekolah mulai 'terasa'.
Kecintaan pada koran saya teruskan dengan berlangganan Kompas lagi ketika saya menjadi guru.Â
Saat itu Kompas memberikan harga khusus guru sehingga kami mendapat diskon yang lumayan banyak.
Dari berlangganan Kompas akhirnya kami merambah ke tabloid BOLA. Tabloid ini mulai kami kenal sekitar tahun 2000 an.
Saat itu setiap sore anak-anak mengaji di masjid dan di dekat masjid ada sebuah kios koran. Bertiga anak-anak dan ayahnya sepulang mengaji selalu mampir di kios koran tersebut. Jika tabloid BOLA sudah terbit, pasti dibeli untuk dibaca di rumah.
Jadi jika sepulang mengaji semua langsung anteng bisa dipastikan ada tabloid BOLA baru. Yang menjadi favorit mereka saat itu adalah berita tentang Liga Italia Serie A. Meski saya tak begitu mengerti bola, tapi melihat foto-fotonya ikut senang, apalagi jika mendapat bonus poster.
Pengambilan foto-foto di BOLA selalu menarik. Aksi pemain sepak bola tampak begitu nyata. Karena itu tak heran jika anak-anak saya menjadi pecinta sepak bola seperti ayahnya.Â
Pemain yang sering dibicarakan saat itu adalah Alessandro del Piero, Zanetti, Vieri, Adriano, Zidane dan banyak lagi.
Jika di TV ada pertandingan sepak bola dipastikan mereka bertiga tidak akan absen. Apalagi jika acaranya adalah Liga Italia serie A yang disiarkan setiap Minggu malam sekitar pukul delapan.
Karena acara tersebut, tiap hari Minggu anak-anak biasanya sudah belajar sejak sore hari, agar saat Liga ditayangkan mereka bisa menonton tanpa diganggu tugas sekolah.
Saya paling-paling ikut menonton jika ada goal. "Berapa-berapa?" Tanya saya jika melihat mereka senang karena jagoannya menang.Â
Jika sudah mendapat jawaban, saya kembali sibuk mengerjakan pekerjaan yang lain.
Betapa cintanya anak-anak saya pada sepak bola bisa dilihat dari permainan mereka.
Sehari-hari sepulang sekolah mereka biasanya bermain dengan sepak bola paku. Permainan ini terbuat dari papan berbentuk lapangan sepak bola. Ada gawang, dan bagian tepi lapangan diberi karet gelang. Sementara di bagian tengah lapangan disebar paku-paku sebagai pemain bola.
Bola yang dimainkan terbuat dari kelereng. Cara memainkannya dua pemain yang berhadap-hadapan bergantian mendapat giliran untuk menggerakkan kelereng satu kali dengan menggunakan semacam stick.
Jika terjadi goal anak-anak berteriak kegirangan seperti melihat sepak bola sungguhan.
Permainan yang lain adalah sepak bola papan juga, tapi pemainnya dari kertas yang dilipat bagian tengahnya lalu diposisikan berdiri.
Bolanya terbuat dari kertas yang dibulatkan, dan cara menendang bola adalah dengan meletakkan 'bola kertas' itu di depan pemain, lalu pemainnnya digeprek bagian atasnya sehingga bola terlempar.
Menjelang sore sebelum mengaji, anak- anak melakukan permainan sepak bola sesungguhnya di gang depan rumah dengan menggunakan bola plastik.
Ramainya jangan ditanya lagi. Ada sekitar 7-8 anak yang ikut bermain dan sesekali berteriak jika goal tercipta.
Kecintaan anak-anak pada bola terus berlanjut hingga mereka besar. Ketika masih kuliah anak saya sering nobar di warung kopi terutama jika yang main Inter Milan. Sementara adiknya juga suka nonton bola, tapi tidak fanatik pada klub sepak bola tertentu.
Hal unik yang saya dapatkan dari tabloid BOLA, anak-anak saya jadi bisa belajar membaca lebih cepat. Melihat ayahnya membaca dengan serius anak-anakpun ingin cepat bisa membaca dari pada hanya sekedar melihat gambar-gambarnya saja.
Sehingga saat itu yang saya pakai untuk mengajari anak anak membaca adalah judul- judul artikel yang ada di tabloid BOLA.
Kecintaan anak-anak pada BOLA diwujudkan dengan memberikan perlakuan khusus pada tabloid ini. Supaya tidak berceceran tabloid distappler dan disimpan rapi sesudah dibaca.
Hingga kini saat berkumpul anak-anak selalu berdiskusi masalah sepak bola. Sepak bola selalu menjadi bahan diskusi yang tiada habis-habisnya. Bahkan anak yang nomor tiga sering menulis di media tentang sepak bola.
Ya, bagi anak-anak saya BOLA bukan sekedar tabloid olah raga. BOLA adalah juga media belajar yang menyenangkan, sumber inspirasi, sekaligus kenangan tentang kebersamaan yang begitu indah bersama orang-orang tercinta.
Selamat berakhir pekan..:)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI