"Tempeeee!"
Teriakan itu selalu memberikan semangat pada kami untuk beraktifitas tiap pagi. Pemilik suara adalah seorang bapak berusia di kisaran empat puluh tahun dengan gerobak berisi tempe di boncengannya.
Beberapa ibu langsung berlari mendatangi. Ada yang membeli sepuluh ribu, lima ribu, bahkan dua ribu. Semua dilayani Si Bapak dengan senyum manis.
Tempe dan tahu adalah hidangan yang begitu akrab dengan keseharian kami. Tidak berlebihan kalau dikatakan tiada hari tanpa tempe dan tahu.
Makanan yang sangat merakyat ini harganya benar-benar bersahabat. Bisa dibayangkan, dengan uang 2000 rupiah saja kita sudah bisa membawa pulang sebuah tempe yang bisa dipotong menjadi 5.
Tinggal diberi tepung bumbu, digoreng, dan dimakan dengan nasi hangat pakai sambal. Maknyus sudah.
Di samping murah, tempe dan tahu juga lezat dan kaya manfaat. Kandungan zat zat penting di dalamnya seperti isoflavon, protein nabati dan kalsium membuat tempe dan tahu mempunyai banyak manfaat. Di antaranya memperbaiki pencernaan, membantu mengurangi obesitas, memperbaiki jaringan kulit dan fungsi otak, juga untuk mencegah osteoporosis.
Tempe dan tahu selalu setia menunggu kami di meja makan. Keduanya adalah pemain inti, ayam dan telor sesekali muncul sebagai penggembira.
Hari ini tempe digoreng tepung, besok tahu dicampur telor dibuat omelet, lusa sambal goreng tahu tempe kecap, hari berikutnya tempe tahu bumbu kuning, berikutnya lagi tempe tahu bumbu bali, belum lagi dimendol, rempah tahu, bothok tahu tempe.
Wes, pokoknya tempe tahu tiap hari selalu hadir dengan wajah yang berganti-ganti dan tetap enak dinikmati.
Jika di kulkas ada persediaan tempe dan tahu, aman sudah rasanya, karena di malam hari sesudah belajar anak-anak sering lapar. Saat lapar itu biasanya mereka menggoreng tempe sendiri, lalu dimakan bersama sambal kecap atau sambal botol.
Namun pagi ini ada yang terasa lain di kampung saya. Tidak ada suara teriakan penjual tempe bersepeda yang selalu setia menyapa warga.
Ah, jangan-jangan benar bahwa pengrajin tempe dan tahu akan mogok memproduksi selama beberapa hari dikarenakan harga kedelai yang melambung tinggi. Harga kedelai naik dari 8000/kg menjadi sekitar 11.000/kg.
Bisa dimaklumi kalau para pengrajin mogok. Kenaikan harga 3000/kg tentu mengakibatkan kenaikan biaya produksi yang tidak kecil.
Duh, mogoknya pas tanggal tua pula, pikir saya.
Untuk mengantisipasi hal tersebut  beberapa hari ini saya sudah pasang strategi untuk menghadapi kekosongan pasokan tempe dan tahu. Strategi itu adalah:
Satu : Ganti menu.
Jika sebelumnya menu tempe tahu sekarang diganti ke menu lain, seperti membuat dadar jagung, atau perkedel.
Ayam dan telur bisa jadi alternatif menu karena harganya sudah mulai stabil. Ayam di kisaran Rp32.000/kg dan telur Rp18.000/kg. Tapi jangan keseringan, kurang bagus buat kantong. He.. He...
Dua : Membuat stock mendol. Â
Atas nasehat teman stock mendol sudah saya buat  sejak kemarin. Stock mendol sangat bermanfaat jika tiba-tiba kami kangen tempe sementara tempe mulai sulit dicari.  Sampai hari ini di kulkas masih ada beberapa mendol siap goreng.
Tiga : Memperbanyak makan sayuran hijau.Â
Sayuran yang kaya serat membuat perut awet kenyang sehingga tidak selalu ingin ngemil. Mengurangi ngemil juga berarti mengurangi gorengan karena anak-anak di rumah suka membuat tempe goreng tepung sendiri.
Strategi sudah dibuat, tapi masih ada satu hal yang membuat saya cemas. Apa itu? Jangan-jangan stock telur ada, mendol banyak, dadar jagung ada, eh... minyaknya tidak ada..
minyak goreng dan baru dapat sore hari. Kata tokonya, stock minyak beberapa hari kosong dan baru datang sore itu.
Seperti beberapa hari kemarin saya muter-muter cariDuh....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H