Si empunya dapur tersenyum. Nampak bias kegembiraan di wajahnya.
" Sebentar lagi matang. Jangan pulang dulu. Nanti tak kasih buat dibawa pulang, " katanya.
"Wah, enak tenan ini... Masakannya Mbak Wati memang mantap, " kata ibu yang lain yang langsung disambung dengan derai tawa yang lain.
"Modus. . Biar pulangnya dapat banyak, " timpal yang lain.
Suasana semakin gayeng dengan datangnya beberapa ibu di serambi depan rumah Mbak Wati. Ya, rumah Mbak Wati satu-satunya rumah yang punya bangku tempat jagongan, sehingga kami sering mampir ke sana.
Bangku kecil itu sering menjadi tempat ibu-ibu duduk untuk sekedar ngobrol seperti sore ini, atau menunggu datangnya pick up yang membawa belanjaan di pagi hari.
Jika kampung ada acara mengunjungi seseorang bersama-sama, kami selalu memilih rumah Mbak Wati sebagai titik kumpulnya. Di samping karena ada tempat duduknya, si empunya rumah selalu 'welcome' dengan kehadiran siapapun.
"Nah, sudah matang.., " kata Mbak Wati sambil mengangkat dandang lalu memindahkan isinya satu demi satu ke sebuah tampah kecil.
Rumah Mbak Wati tidak besar sehingga aktivitas dapurpun kelihatan dari depan.
Hmm, bothok dengan bungkusannya yang khas ditata rapi di atas tampah.
"Ayo ambil dua- dua.., " kata Mbak Wati sambil memberikan pada kami kertas koran yang dipotong kecil kecil untuk bungkus.
"Wah, jangan Mbak Wati, kami mau beli saja, " kata saya sungkan.
"Iya, beli saja, " kata ibu yang lain.
Mbak Wati cepat-cepat menolak. Meski tiap hari ia berkeliling kampung menjual bothok dan pepes, katanya hari itu ia ingin membagi-bagikan bothok luntas pada ibu-ibu.
Sesuai namanya bothok luntas terbuat dari daun beluntas, ditambah teri, sedikit kelapa dan bumbu-bumbu, lalu dibungkus dengan daun pisang dan dikukus sampai matang. Rasanya? Pasti sedap, apalagi jika yang membuat Mbak Wati.
"Mboten di dol... Sudah diniatkan untuk dibagi-bagi, ini luntasnya dari halaman kok, " kata Mbak Wati lagi sambil mengangkat tampah dan mendekati kami. Depan rumah Mbak Wati memang penuh tanaman luntas dan kelihatan baru dipetik i.
"Mbak Wati, kulo tumbas mawon, " kata saya sambil menyelipkan uang sepuluh ribu ke saku dasternya. Meskipun daun beluntas nya dapat dari halaman, tapi bahan lain 'kan harus beli, pikir saya.
Mbak Wati mengambil uang itu dan memasukkan kembali ke tangan saya. Demikian juga pembayaran ibu-ibu yang lain, semua ditolaknya.
"Mboten usah mbayar Ibu-ibu..., mboten didol, " katanya sambil tertawa. Akhirnya meski tak enak hati kami menerima pemberian bothok itu lalu pulang.
Sisa bothok di tampah dibawa Mbak Wati ke rumah tetangga yang lain untuk diberikan secara gratis.
"Duh, jadi tidak enak ya.. Sungkan, sering diberi masakan sama Mbak Wati. Ini bothok, hari yang lalu lodeh, yang dulu juga pernah rempeyek, " kata saya dalam perjalanan pulang pada Bu Ut. Bu Ut masih terhitung saudara jauh Mbak Wati.
"Gak apa-apa Bu, diterima saja.., Bude Wati memang begitu.. Suka masak lalu dibagi-bagi kalau pas ada rezeki, " jawab Bu Ut ringan.
"Lha, tapi uang buat beli bumbu dan bahan..? Masak tidak diganti? " tanya saya lagi.
Bu Ut tersenyum kecil. "Katanya Bude baru dapat BLT dari pak RT, dan ingin syukuran, biar semua senang katanya, " bisik Mbak Ut.
Duuuh, semakin tidak enak hati saya. Ibu -ibu yang lain juga terkejut. Uang BLT lho, dipakai masak bothok dan dibagi-bagi pula.
Kami semua tahu Mbak Wati bukan orang kaya. Ia hidup berdua saja dengan suaminya, dan dua-duanya adalah pekerja keras.
Suami Mbak Wati bekerja serabutan dan sering menerima panggilan tetangga untuk memperbaiki kerusakan kerusakan kecil, misal genteng bocor, kabel yang konslet, dan lainnya. Sementara Mbak Wati sendiri adalah penjual masakan keliling. Baik masakan sendiri atau titipan tetangga.
Meski begitu sederhana, kehidupannya berjalan tenang. Tak pernah kami melihat Mbak Wati bingung dalam kesehariannya. Semua berjalan aman-aman saja.
Bahkan Mbak Wati dalam kesehariannya begitu loman, baik dalam memberikan masakan atau bantuan tenaga. Jika ada tetangga sedang 'repot' bisa dipastikan ia ada di sana membantu apa saja.
"Bagaimana ini, Ibu-ibu? Kita bayar bothoknya ya? Uangnya titip Bu Ut saja.., " kata saya pada ibu-ibu yang lain masih dengan agak berbisik. Ibu-ibu setuju, tapi tidak demikian halnya Bu Ut.
"Jangan Ibu-ibu, Bude nanti akan tersinggung. Bude sudah niat berbagi, jadi diterima saja bothoknya. Kalau Ibu- ibu ingin memberikan 'sesuatu', besok kalau Bude jualan Ibu-ibu beli agak banyak saja, " kata Bu Ut pada kami.
Setelah berpikir sejenak kamipun mengangguk setuju. Ya, itu sepertinya jalan terbaik.
Kami segera menuju rumah masing -masing. Dalam perjalanan pulang saya tiba-tiba merasa malu hati. Betapa Mbak Wati dalam kondisinya yang begitu sederhana selalu menyempatkan diri untuk berbagi.
Ya, Mbak Wati menyadarkan kami semua bahwa tidak perlu menunggu kaya untuk memberi dan berbagi. Asal ada niat, kita bisa berbagi baik dengan tenaga ataupun materi.
enak tenan            : enak sekali  Â
kulo tumbas mawon  : saya beli saja
mboten usah mbayar  : tidak usah membayar
mboten didol          : tidak dijual
loman                 : suka memberi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H