Sore itu langit mendung. Hujan sepertinya sudah siap untuk membasahi bumi. Saya duduk di boncengan sepeda motor sementara anak saya yang ada di depan. Rupanya ia sudah agak lama menunggu saya keluar dari sekolah.
"Mampir 'otos maya'?" tanya anak saya sambil tersenyum.
"Ayo..," jawab saya. Sepeda yang kami naiki langsung menuju depot soto Ambengan tak jauh dari sekolah.
 Soto. Siapa yang tidak kenal hidangan ini? Begitu terkenalnya, hingga soto sangat mudah di dapatkan saat kita bepergian dari satu kota ke kota lain di Nusantara.Â
Tiap daerah di Nusantara mempunyai kekhasan sotonya masing-masing. Ada soto Lamongan, soto Madura, soto Bandung, soto Betawi, soto Kudus, soto Medan dan banyak lagi.
Sudah sejak lama soto menjadi hidangan masyarakat di Indonesia. Dari foto yang diambil sekitar tahun 1900 an berikut tampak pedagang soto di Semarang menjajakan dagangannya dengan menggunakan pikulan.Â
Zaman sekarang sudah jarang yang berdagang soto dengan menggunakan pikulan. Yang banyak adalah dengan gerobak dorong , depot atau warung.
Sejarah soto sendiri sebenarnya berasal dari Tiongkok. Dalam sebuah buku berjudul, Nusa Jawa: Silang Budaya, Denys Lombard disebutkan bahwa soto berasal dari China yang dikenal dengan sebutan caudo atau jau to.Â
Sementara arti dari cau do sendiri adalah rerumputan jeroan atau jeroan berempah.
Hidangan yang berisi kaldu daging, bumbu rempah-rempah, aneka sayuran, bawang goreng dan koya ini memiliki rasa yang lezat, bau yang sedap ditambah dengan kesegaran jeruk nipis dan pedasnya sambal dan diramaikan  dengan kehadiran kerupuk yang membuat hidangan soto semakin mantap.
Selain memasak sendiri saya sering juga mencoba soto di beberapa tempat saat pulang sekolah atau sedang bepergian. Ada beberapa warung dimana saya sering membeli  soto.Â