Belajar sejarah adalah sesuatu yang sangat mengasyikkan. Sejarah bukan sekedar menghafal tahun atau peristiwa. Tapi sejarah mengajar kita untuk selalu mengambil pelajaran dari masa lalu untuk perbaikan di masa datang.
Sejarah juga mengajarkan pada kita bahwa kemerdekaan yang kita peroleh saat ini melalui sebuah perjalanan panjang yang benar benar tidak mudah. Karena itu sudah sepatutnya kita menghargai perjuangan para pendahulu kita.
Karena saya tidak punya latar belakang pendidikan sejarah, saya lebih banyak belajar sejarah lewat novel atau roman sejarah karena penyajiannya terasa lebih luwes dan mudah dicerna. Meski sebagian dibumbui imajinasi pengarang.
Beberapa buku koleksi novel sejarah saya bisa berupa buku tunggal, tetralogi atau pentalogi. Dulu tiap ada novel sejarah terbit saya selalu mencari ke toko buku sepulang sekolah. Tapi sejak pandemi ini tidak lagi. Anak-anak biasanya memesankan lewat online.
Dari sekian novel sejarah yang pernah saya baca ada satu novel yang sangat berkesan, yaitu tetralogi Pulau Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer.
Buku yang sempat dilarang beredar di masa orde baru ini benar-benar membuka wawasan saya tentang sosok RM Tirto Adhi Soerjo.
RM Tirto Adhi Soerjo sekilas pernah disebutkan dalam pelajaran Sejarah Nasional Indonesia khususnya tentang Sejarah Kebangkitan Nasional.
Dalam buku pelajaran sejarah sekilas disebutkan bahwa beliau berkiprah dalam mendirikan Sarekat Prijaji dan Sarekat Dagang Islam. Hanya sekilas, karena dalam buku tidak ada bahasan lebih lanjut tentang RM Tirto Adi Soerjo.
Siapakah RM Tirto Adhi Soerjo sebenarnya, baru saya dapatkan gambarannya di buku tetralogi ini.
Siapakah Tirto Adhi Soerjo?
Tirto Adhi Soerjo lahir sebagai Raden Mas Djokomono di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1880 dan meninggal di Batavia pada tanggal 7 Desember 1918 . Beliau adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Nama Tirto Adhi Soerjo sering disingkat dengan TAS.
TAS adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Tulisannya tajam berisi kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Karena dianggap berbahaya, di akhir hayat beliau ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya,TAS kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 7 Desember 1918.
TAS aktif dalam organisasi kebangsaan. Tahun 1906 mendirikan Sarekat Prijaji, tahun 1908 tercatat sebagai anggota Budi Utomo dan 1909 menggagas pendirian Sarekat Dagang Islam di Bogor dan Batavia.
Untuk menghargai jasa-jasa beliau, pemerintah RI mengukuhkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Bapak Pers Nasional(1973), dan tahun 2006 Â ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Perjalanan Hidup Tirto Adhi Soerjo dan Buku Tetralogi Pulau Buru
Tetralogi Pulau Buru terdiri atas empat buku yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Buku yang berlatar Hindia Belanda di awal akhir abad 19 awal 20 ini menggambarkan betapa terpuruknya kehidupan pribumi di masa penjajahan Belanda.Dalam tetralogi ini tampak sekali pergolakan batin masing-masing tokoh terutama TAS yang dalam buku ini ditokohkan sebagai Minke.
1. Bumi Manusia
Minke adalah panggilan ejekan dari kata monkey atau monyet. Saat itu Minke yang bersekolah di sekolah Belanda selalu diejek karena dia orang pribumi dan mempunyai kulit yang lebih gelap.
Minke adalah putra pribumi yang cerdas dan pandai menulis, yang karyanya banyak dipublikasikan di koran. Dalam Bumi Manusia digambarkan karakter Minke sebagai pemuda yang revolusioner kerap menantang ketidakadilan terhadap bangsanya.
Pertemuan Minke dengan Nyai Ontosoroh membuat kesadarannya untuk menegakkan keadilan semakin kuat, karena Nyai Ontosoroh selalu menanamkan dalam dirinya tentang perlunya menegakkan keadilan.
Akhirnya Minke berkenalan dan menikah dengan anak Nyai Ontosoroh yang bernama Annelies Mellema. Annelies adalah anak kedua dari Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema.
Perkawinan antara Minke dan Annelies tidak dianggap sah oleh hukum kolonial, dan mereka akhirnya harus berpisah.
2. Anak Semua Bangsa
Dalam buku kedua ini dikisahkan kesadaran nasionalisme Minke yang semakin meningkat karena bertemu dengan banyak tokoh. Minke bertemu dengan Trunodongso petani yang menolak menjual tanahnya pada pabrik gula. Khouw Ah Soe tokoh pergerakan dari Cina. Juga Kommer dan Jean Marais yang selalu mendorongnya agar menulis dalam bahasa ibunya.
Dalam buku kedua ini juga dikisahkan Annelies meninggal dalam pengasingan, dan hal itu sangat membuat Minke bersedih.
Bertemu dengan banyak orang membuat karakter tulisan Minke yang antikolonial semakin terbentuk. Akhirnya Minke keluar dari Wonokromo dan melanjutkan pendidikannya di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) untuk menjadi dokter.
3. Jejak Langkah
Di buku ketiga ini dikisahkan Minke menjadi mahasiswa STOVIA dan masih aktif menulis. Tulisannya mengilhami lahirnya berbagai organisasi. Saat itu banyak muncul organisasi kerakyatan di antaranya Boedi Oetomo, Petani Samin dan Serikat Dagang Islam.
Tokoh-tokoh revolusioner juga kerap hadir dan bermunculan. Sadikoen, Tjipto, Haji Misbach, Marco, Sandiman, Haji Moeloek, Haji Samadi, Princess van Kasiruta (istri ketiga Minke), Siti Soendari, dan beberapa tokoh lain.
 Karena sepak terjangnya yang semakin mengkhawatirkan Minke ditangkap dan diasingkan oleh gubermen. Penangkapan ini sudah diantisipasi sebelumnya sehingga selama Minke dalam pengasingan koran Medan Prijaji yang dipimpinnya tetap beroperasi.
4. Rumah Kaca
Berbeda dari tiga buku pertama yang menampilkan Minke sebagai tokoh utama, buku keempat ini menampilkan tokoh utama Pangemanann.
Pangemanann adalah seorang juru arsip asal Manado yang diberi perintah untuk mengawasi pribumi saat dalam pengasingan.
Dalam buku ini digambarkan betapa segala gerak-gerik Minke dalam pengasingan selalu diawasi oleh Pangemanann. Bahkan termasuk kegiatan surat menyurat.
Politik mengawasi gerak gerik dan pengarsipan ini diistilahkan dengan perumah kacaan.
Buku Rumah Kaca ini berakhir sedih. Minke meninggal setelah melihat media dan organisasi yang dibangunnya selama ini direbut oleh gubermen kolonial.
Minke meninggal dalam kesedihan dan kesendirian di usia 38 tahun. Begitu muda, namun bisa memberikan pengaruh yang begitu membekas bagi pribumi.
Raden Mas Minke telah meninggal. Ia diangkut ke tempat peristirahatan terakhir di kuburan karet oleh penggotong-penggotong upahan. Hanya seorang dari semua kenalan yang mengiringkan. Goenawan. Tak ada yang lain. Dan ada seorang pengagumnya mengiringkan dari kejauhan. Orang itu adalah Jaques Pangemanann. Juga waktu ia diturunkan ke liang lahat pengagumnya melihat dari jauh. Hatinya merasa lega, karena dengan kematiannya tak bakal ada persoalan muncul tentang Surhoof, tentang de Zweep, dan sebangsanya. Dia telah pergi ke tempat ke mana setiap orang akan dan sedang pergi.(dikutip dari buku Rumah Kaca)
Referensi :
Wikipedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H