Gema takbir bersahut-sahutan pertanda akan tibanya hari nan fitri. Â Di ruang tengah istriku sedang menata toples yang berisi kue lebaran diiringi pertanyaan tak henti-henti dari anakku yang berusia tiga tahun. Â Aku tersenyum mendengarkan bicaranya yang cedal. Â
Tiba-tiba mataku tiba tiba tertumbuk pada toples yang tengah. Ada rasa hangat dalam hatiku. Â Kue semprit dengan choco chips. Â Kue yang harus ada setiap lebaran di rumahku. Kue favoritku. Â Mengapa? Â Karena ada cerita di balik kue itu.
**
Ibuku adalah orang yang paling sabar yang pernah kukenal.  Tidak seperti ibu-ibu temanku yang kadang  memarahi anaknya ibuku cukup mendiamkan kami jika kami melakukan kesalahan.
Kami adalah empat bersaudara. Kakakku yang tertua perempuan dan sisanya laki laki semua. Rentang usia kakakku dan kami bertiga agak jauh sehingga kami mempunyai 'dunia' yang berlainan.
Membesarkan tiga anak laki-laki kecil dengan rentang usia yang tak begitu jauh tentunya sangat melelahkan. Â Hampir tiap hari aku melihat ibuk bersih-bersih. Â Tentu saja. Â Kami main tak henti henti. Â
Jika aku dan Mas ku sudah bisa merapikan mainan kembali pada tempatnya tidak demikian halnya dengan adikku. Â Ia masih kecil belum bisa beres-beres. Â Akibatnya aku sering melihat ibuk kesana kemari bawa sapu atau penebah untuk bersih bersih.
Sesekali ibuk terlihat lelah, Â tapi tak pernah marah. Â Marahnya ibuk adalah diam. Â Jika ibuk diam pasti ada apa-apa. Â Tapi jika ibuk masih bicara, Â cerita dan menyanyi, Â itu berarti kondisi aman dan terkendali.Â
Namun suatu saat kami bertiga harus menghadapi kemarahan ibuk yang 'menakutkan'. Â Mungkin saat itu kenakalan kami agak keterlaluan
 Kisahnya terjadi di bulan puasa.  Saat itu Masku kelas 4, aku kelas 1 adikku kelas nol kecil.  Â