Lebaran kurang tiga hari. Meski matahari belum pas di atas kepala tapi hawa terasa begitu panas.  Azan Dhuhur berkumandang dari langgar. Terasa sekali yang mengumandangkan sudah agak sepuh.  Suaranya merdu, namun ada getar rasa sendu dan sedih di sana.
Sedih? Â Ya, Â orang sering berandai-andai atas diri pemilik suara itu. Â Pak Ali namanya. Â Meski usianya berada dikisaran akhir tujuh puluhan tubuhnya yang kecil masih gesit. Â Sehari-hari Pak Ali tinggal di bilik kecil di langgar kampung kami. Â Orangnya yang pendiam membuat kami sering menganggit macam-macam tentang dirinya.
Kasihan. Â Itu kesan yang paling banyak tentang dirinya. Barangkali dia sebatang kara? Â Kemana saja anak- anaknya? Â Atau dia sebenarnya pernah punya istri atau tidak? Namun pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab. Â Kami cukup menelan semua pertanyaan kami sambil mendengarkan azan atau pujian- pujian yang dilantunkannya sebelum shalat lima waktu.Â
Bergegas aku mengambil air wudhu. Â Seperti biasa suasana langgar saat dhuhur sangat sepi. Â Hanya ada lima orang laki-laki. Â Itupun yang satu anak kecil.
Pak Ali yang berada di dekat pengimaman menoleh padaku. Â Sambil tersenyum dengan isyarat tangan ia memintaku jadi imam. Â Aku menolak dan segera mengambil tempat untuk qomat saja.Â
Lepas sholat Dhuhur aku tetap duduk memperpanjang doaku. Â Bukankah di akhir Ramadhan kita harus banyak i'tikaf ? Demikian juga Pak Ali. Â Kami tetap terpekur diam dalam doa kami masing masing.
Tiba tiba terdengar olehku suara dampar beradu.  Rupanya Pak Ali sedang menata dampar yang habis dipakai anak-anak mengaji kemarin.
"Saya bantu, Â Pak? " kataku sambil ikut menata dampar dampar itu.
"Monggo.. Â Anak-anak lupa ini.. Tidak dikembalikan ke tempat semula, " jawab Pak Ali.
"Libur Nak Fahri? "