Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ghibah

26 April 2021   22:00 Diperbarui: 26 April 2021   22:33 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dream co.id

Pagi terasa, begitu damai.  Belum terlihat aktivitas yang berarti di kampung Manggis.  Selama bulan puasa keramaian dan segala aktivitas pindah ke sore hingga malam hari.  Pak Bakri yang berjualan soto mulai keluar sekitar habis sholat ashar.  Demikian juga para tetangga yang berprofesi sebagai penjual gorengan,  gado-gado dan urap sayur. Semua mulai beroperasi sore hari.

 Tentu saja,  pagi hari siapa yang mau beli? Yang tetap beroperasi pagi hari adalah Pak Mus penjual sayur keliling.  Ya,  penjual favorit ibu-ibu itu sudah mangkal di depan gang sejak jam setengah delapan pagi. Sedikit lebih siang daripada hari biasanya yang pukul 6 pagi.

Tampak Mbak Jum,  Mbak Wiwik dan Mbak Pur sedang asyik memilih belanjaan. 

Berbagai celoteh dan komentar muncul.  Tapi Pak Mus selalu bisa melayaninya dengan sabar.

"Walah,  tempenya jadi kecil-kecil Pak Mus? "

"Lombok masih mahal ya? "

"Sop -sopannya kemarin tidak ada seledrinya.. "

"Ayam naik,  telor naik,  ya wes,  tempe tahu saja lah.. "

Pak Mus cuma tersenyum sambil konsentrasi pada kalkulator menghitung belanjaan Mbak Pur.

"Kurang tiga ribu,  Mbak,  semua delapan  belas ribu, "kata Pak Mus

Mbak Pur membuka resleting dompetnya.  Kosong.  "Tambah catetan ya.., " pintanya.

"Beres..., " kata Pak Mus ramah.  Segera dikeluarkan notesnya.  Tambah catetan berarti pembayarannya dilakukan nanti awal bulan atau sewaktu-waktu ada uang.

Sesudah mendapat semua yang diinginkan ketiganyapun membawa kresek untuk segera pulang.

Di tengah perjalanan tiba-tiba Mbak Wiwik menghentikan langkahnya.

"Eh,  iya,  aku tadi malam dititipi kupon, buat minggu depan. "

Mbak Wiwik mengeluarkan lembaran kertas kecil hijau bertuliskan nomor, hari dan tanggal serta stempel.

Mbak Jum membaca sekilas.  Hmm, Kupon sembako dari  keluarga Monik, batinnya. 

"Alhamdulillah,  lumayan,  buat nyambung kebutuhan selama puasa, " kata Mbak Pur sambil memasukkan kupon tersebut dalam dompetnya.  Akhir-akhir ini suaminya yang bekerja sebagai tukang parkir agak sepi. Gara-gara pandemi pengunjung mall jauh berkurang.

"Bener Mbak Pur,  lumayan buat tambah-tambah, " timpal Mbak Wiwik  senang.

"Apa sih dapatnya? " tanya Mbak Jum ingin tahu.

"Ya,  seperti biasalah,  beras lima kilo,  minyak,  mie instan, " jawab Mbak Wiwik. 

"Halaaah,  pancet ae... ," kata Mbak Jum sinis.  Di antara ketiganya Mbak Jum memang relatif lebih bagus kondisi ekonominya.  Suaminya yang bekerja sebagai kurir semakin banyak orderan di masa pandemi ini.  Banyak orang berbelanja online.

"Sampeyan ini,  tiap tahun dikasih mie instan..  Kebanyakan mie instan 'kan tidak bagus bagi kesehatan,"

"Mbok sekali sekali buka internet, baca gitu lho.., " tambahnya lagi.  Mbak Wiwik dan Mbak Pur diam meski mendongkol.

Masih belum puas, Sambil memasukkan kupon dalam dompetnya Mbak Jum berkata lagi, "Kupon ini nanti kuberikan Yu Nah saja,  dia lebih membutuhkan."

Bicara dengan Mbak Jum memang percuma.  Tidak pernah mau mengalah.  Diam-diam memang ada rasa tidak senang dalam hati Mbak Jum pada Mbak Monik.  Padahal mereka berdua teman masa kecil.  Nasib yang membuat berbeda.  Mbak Monik menikah dengan pengusaha kaya meski desas desusnya ia menjadi istri kedua.

Mbak Monik  sering melakukan aksi sosial bagi-bagi sembako pada tetangga, terutama di bulan Ramadhan. Bulan yang sebaiknya diisi dengan berbagai amal kebajikan. Ini yang paling tidak disukai Mbak Jum. Reputasi Mbak Jum sebagai biang gosip di kampung tidak perlu diragukan lagi. Dia yang paling bersemangat menceritakan kekurangan Mbak Monik pada para tetangga.

Ah, paling aksi bagi-bagi sembako bertujuan untuk membungkam gosip miring tentang diri  Monik, batin Mbak Jum.

Sore yang dijanjikan telah tiba.  Sesuai tanggal dan jam yang tertera di kupon warga kampung berdiri di halaman rumah Mbak Monik.  Beberapa petugas sudah siap untuk membagikan bingkisan yang dikemas dalam tas kresek besar berwarna merah

Dari kejauhan Mbak Jum melangkah pelan menuju rumah Mbak Monik. 

"Eh,  Mbak Jum...  Tak pikir tidak datang, " celetuk seorang tetangga dengan heran.  Ia tahu sekali Mbak Jum tidak suka pada Mbak Monik. 

Mbak Jum melengos. 

"Sst,  isinya mie instan lho...  ," tambah yang lain.

"Mie instan terusan tidak baik untuk kesehatan.., " ada yang menambah lagj dengan cekikikan.

 "Yah,  mie instan terusan memang tidak bagus..  Tapi lebih tidak bagus lagi kalau tidak ada lauk buat berbuka, " jawab seseorang yang langsung disambut dengan tawa lain.  Mbak Jum menoleh geram pada Mbak Wiwik dan Mbak Pur yang pura-pura tidak melihat nya. 

"Makanya.., puasa-puasa, jangan suka ghibah.. masa bulan puasa gosip jalan terus..," tambah yang lain lagi.

Telinga Mbak Jum Semakin gatal. Untung nomornya segera dipanggil. Duh,  seandainya Mas Marto seminggu ini tidak libur gara-gara asam uratnya kambuh ia pasti tidak akan ikut antre di sini, batinnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun