Saat itu saya mengajar materi pemfaktoran bentuk Aljabar di kelas 8 SMP. Begitu mendengar kata Aljabar biasanya siswa langsung malas, membayangkan angka yang berkolaborasi dengan huruf sudah bikin para murid pusing duluan.Â
"Waduh, ketemu X lagi...," komentar beberapa siswa.
Setelah penjabaran materi dan diskusi selama satu jam pelajaran, 40 menit terakhir waktunya mengerjakan soal. Ada lima soal, langsung saat itu didiskusikan dan dinilai.Â
Selama proses pembelajaran dan pengerjaan soal, semua berjalan lancar, tidak ada masalah yang berarti. Dan ketika saya tanyakan pada anak anak adakah pertanyaan untuk materi hari ini.Â
Salah satu siswa saya mengangkat tangan dan berkata agak ragu, "Maaf bu guru, kata guru les saya ada cara yang lebih mudah."
Wow, surprise ini. Dalam pembelajaran, saya sering mendapat pertanyaan yang aneh- aneh, tapi pertanyaan semacam ini baru kali ini terjadi.
"Oh ya? Bagaimana caranya?", tanya saya.
Arta, sebut saja demikian memandang wajah saya. Seolah takut ada kemarahan di balik kata-kata saya. Anak-anak di kelas langsung terdiam.Â
Mungkin mereka khawatir saya tersinggung karena dibandingkan dengan guru lesnya oleh Arta. Padahal tidak ada alasan bagi saya untuk marah. Mendapat pertanyaan dari siswa adalah sesuatu yang menyenangkan. Sebab siswa yang bertanya menunjukkan ada proses berpikir dalam dirinya.
Saya memberika Arta spidol dan dia pun langsung ke depan untuk menjelaskan cara pengerjaan soal yang agak berbeda dengan cara yang saya terangkan sebelumnya.Â
Setelah Arta selesai menerangkan, saya langsung minta anak anak memberikan applause pada Arta. Arta duduk dengan wajah berseri. Tidak ada bias ketakutan dalam wajahnya seperti sebelumnya.