Di awal-awal School From Home bulan Maret 2020 yang lalu ada berbagai reaksi yang muncul di antara para pelajar.  Ada yang sedih  karena tidak bisa bertemu dengan teman atau  belajar secara langsung,  ada yang cuek karena tidak ada bedanya antara  belajar di rumah ataupun di sekolah, ada pula yang gembira seolah menemukan kebebasannya. Bagaimana tidak,  dengan SFH mereka bisa bangun agak siang,  tidak perlu ribut berebutan angkot di pagi hari atau takut terlambat datang sehingga kena tatib, dan banyak lagi alasan lainnya.
 Anak saya termasuk pelajar yang nomor 3.  SFH benar-benar menjadi ajang dimana dia menemukan kebebasannya ( baca:bermalas-malasan). Bisa dibayangkan,  habis sholat subuh tidur lagi sampai menjelang masuk kelas jam 08.00. Kalau ada zoom berarti siap di depan laptop,  jika tidak ada maka mengerjakan tugas-tugas dengan batas pengumpulan sampai malam (biasanya pukul 22.00). Biasanya tugas dalam waktu 1-2 jam selesai.  Sesudah itu bisa mendengarkan lagu,  sesekali makan,  mengerjakan lagi,  tidur sebentar, mengerjakan lagi diselingi makan cemilan sampai malam.  Kegiatan ke langgar atau masjid praktis berhenti untuk sementara waktu.
Berada di depan gadget terus menerus  akhirnya menimbulkan kesenangannya yang  baru yaitu  menonton film. Entah drama atau apa yang jelas kadang sampai malam hari. Sebagai ibu saya sudah mengingatkan berkali-kali, kontrol tetap saya lakukan,  tapi begitulah kadang masih sembunyi-sembunyi melihat film. Kelihatannya bersambung pula. Duuh,  mengawasi anak usia SMA memang gampang-gampang susah.Â
Kegiatan semacam itu berlangsung terus-menerus sampai lebih dari satu semester.  Jadwal kegiatan  sehari-hari adalah mandi, makan,  belajar,  nonton film, tidur,  repeat. Sesekali juga bersih-bersih rumah, tapi porsinya kecil sekali.  Tidak akan bershi- bersih jika tidak disuruh.
Sampai menginjak akhir Januari  masuklah ia ke pekan ujian praktik. Oh,  ya anak saya ini kelas 12 SMA.  Tugas ujian praktik biasanya dikumpulkan dalam bentuk video.  Ada tugas melakukan sholat jenazah (agama), membuat tape singkong (kewirausahaan) ,  membuat vlog yang menceritakan kegiatan sehari-hari dan kegiatan positif selama pandemi (Bahasa Indonesia) dan banyak lagi.Â
Anak saya mulai sibuk. Beberapa kali ia ke rumah temannya untuk membuat video bersama. Satu demi satu tugas agama, Â kewirausahaan dan yang lain sudah dikumpulkan, tinggal membuat vlog untuk Bahasa Indonesia.Â
Saya mengatakan tugas ini benar-benar bermakna. Â Mengapa? Â Saat membuat konsep untuk vlog tiba-tiba anak saya mendekati saya dengan wajah serius.
"Ada apa, Le? " tanya saya. Â Biasanya kalau dia mendekat seperti ini ada sesuatu yang diperlukan. Â Ia diam beberapa saat.
"Buk, Â setelah kupikir-pikir, Â kegiatanku selama ini kok cuma makan, Â tidur, sinau, makan, Â tidur, Â sinau ya? "katanya serius.
"Lho... Â Kadang kan juga bantu -bantu? " goda saya. Padahal dia agak sulit jika diminta membantu bersih-bersih. Sebenarnya berkali-kali saya ingatkan untuk lebih peduli pada kegiatan di rumah, Â tapi lebih sering diabaikan.
"Cuma sedikit itu... Â , Jadi bingung, membuat vlognya bagaimana? Â Tidak menarik sama sekali. Membosankan.. " katanya resah.Â
"Wes, Â rundingan sama teman sana.., Â mau buat vlog yang bagaimana.., " kata saya lagi. Â Akhirnya dia dan teman-temannya membuat vlog tentang kegiatan memancing di Lembah Dieng. Barangkali teman-temannya juga bingung mau membuat vlog kegiatan apa.Â
Tapi ada satu yang berubah sejak kegiatan ini. Â Anak saya jadi lebih peduli pada kegiatan di rumah. Â Bersih-bersih rumah, mencuci, Â bahkan kemarin saat saya tinggal piket ke sekolah ia berbelanja dan memasak.Â
"Alhamdulillah,  rajin anak ibuk..," kata saya sore itu.  Dia cuma tersenyum.  Kelihatannya  dia mulai sadar bahwa pada titik tertentu menjadi pemalas itu ternyata sangat membosankan. Semoga saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H