"Ssst... Â diam, Wan, " bisik Dodit. Suasana gelap gulita. Â Sepi, Â yang tinggal adalah derasnya suara hujan dan isak tangis Marwan.
Tiba-tiba dari arah belakang kami terdengar suara pintu dibuka. Â Deritnya benar-benar menimbulkan rasa jerih di hati kami. Â Samar-samar tampak temaram cahaya lilin yang bergerak-gerak tertiup angin.Â
"Lhoo.., Â kenapa di sini anak anak? " Â Seorang nenek sudah berdiri tepat di depan pintu sambil membawa lilin yang diletakkan dalam sebuah cawan.Â
"Ampuun, Â ampun Nek.. Â Biarkan kami pergi! " jerit Marwan ketakutan.
Kami diam terpaku, Â bayangan nenek yang bergoyang-goyang karena sinar lilin yang tertiup angin tampak sangat menyeramkan. Â " Kalian kehujanan rupanya... Ayo masuk, " ajak nenek itu.Â
"Tte...rrima kasih Nek, Â kami di sini saja., " tolakku. Lebih baik di luar kedinginan daripada dijadikan ramuan ,pikirku.
"Ayolah masuk... Â nanti masuk angin, " ajak nenek itu setengah memaksa. Â Sekali lagi petir terdengar.Â
"Aaaa...! " teriak kami bersamaan.
"Ayo anak anak, Â masuk! " ajak nenek itu tegas. Â Mau tak mau kamipun masuk. Â Kurasakan Marwan mencengkeram erat tanganku. Â Kami duduk di sebuah bangku panjang. Â Suasana temaram, sehingga kami tidak bisa melihat ruangan dengan jelas. Namun aku masih sempat melihat kaki nenek itu. Â Aman, Â pikirku, Â kakinya menjejak lantai, Â berarti bukan golongan mahluk mahluk tak kasat mata seperti yang diceritakan Jojon.Â
"Dari mana saja kalian? Â Orang tua kalian pasti bingung mencari, " kata nenek memulai percakapan. sambil membawa satu poci minuman. Â Bau jahe langsung merebak begitu poci dan empat cangkir diletakkan di atas meja.
"Ayo,  diminum,  biar hangat , "kata nenek  ramah.