Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Di Balik Musik 90s Tersimpan Banyak Cerita

9 Januari 2021   18:04 Diperbarui: 9 Januari 2021   18:08 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Genre musik 90s apa yang anda suka?  Pop?  Rock?  Dangdut?  Campursari? Atau lainnya?

Bicara masalah lagu atau musik seolah  tiada habisnya. Mendengarkan musik selalu menyenangkan meskipun musik bisa membuat suasana hati kita berubah.  Dari sedih menjadi senang atau sebaliknya. 

Apalagi jika mendengarkannya bersama teman yang seleranya sama, dan kita bisa bernostalgia dengan cerita-cerita atau kekonyolan masa lalu. Ditambah ngopi.. Hmm sedap sekali.

 Ajaibnya musik,  ia membuat masa lalu berpendar kembali dalam ingatan kita. Sampai begitu detail.  Kadang meski yang tergambar adalah cerita sedih kita masih bisa bercerita sambil tertawa.  Meski secara samar ada titik air mata di sudut mata kita.  Sebuah chemistri yang sulit dikatakan.  Tapi tetap indah untuk dirasakan.

 Sebelum saya membuat tulisan ini,  saya sengaja memutar kembali musik tahun 90 an lewat spotify yang ada di hp saya. Zaman sekarang sungguh enak,lagu tinggal pilih di spotify. Di tahun 90 an lagu-lagu disimpan dalam kaset. Jadi semakin banyak lagu yang kita inginkan, semakin banyak kaset yang harus dibeli.

Saat lagu-lagu mulai mengalun..,OMG,  saya senyum-senyum sendiri mendengar centilnya si Burung Camar Vina Panduwinata saat menyanyikan lagu Surat Cinta.  Ingat masa-masa SMA dulu. Ingatan semakin dalam ketika bergulir lagu Iwan Fals yang berjudul Buku Ini Aku Pinjam.  

Tiba-tiba ingat dulu saya dan teman-teman punya idola kakak kelas yang wajahnya mirip Iwan Fals ( menurut saya saat itu). Kakak kelas saya ini pintar,  pandai bicara,  ketua sebuah organisasi  pula.  

Kurang apa coba? Modal yang begitu mantap untuk menjadi seorang idola, dan  saya adalah salah satu  pengagumnya.  Tiap ganti kelas dari kelas pagi ke kelas siang saya dan beberapa teman (sesama pengagum) menunggu kakak  kelas itu di bawah tangga  sampai dia lewat depan kami.  Melihat dia lewat saja kami sudah senang. Tidak berani menyapa , dan sampai luluspun kita tidak saling mengenal.  Ha.. Ha..

Tiba pada  lagu Dewa 19, membuat saya teringat ketika punya radio transistor kecil.  Mendengarkan radio transistor bersama teman 'sesuatu' sekali rasanya. 

Apa lagi saat mendengarkan sepuluh tangga lagu terfavorit yang biasanya disiarkan tiap akhir pekan oleh pemancar radio tertentu.  Senang sekali rasanya saat lagu favorit saya menduduki tangga teratas.

Saya dan teman-teman juga sering berkirim salam lewat radio .  Biasanya kami datang ke  radio tertentu,  minta kupon,  lalu menuliskan di situ lagu yang diminta, buat siapa dengan ucapan apa.  Mendapatkan kiriman lagu atau salam lewat penyiar radio wih...senang rasanya.

 Favorit saya yang lain adalah lagu-lagu Dewa 19.  Kenapa? Syairnya puitis,  musiknya bagus,vokalisnya juga oke. Ari Lasso,  Once,  wow... bagus sekali suaranya. 

Jujur,  saya lebih suka Ahmad Dani menggeluti bidang musik daripada politik.  Saat bermusik ia bisa menghasilkan karya=karya yang luar biasa seperti Kirana,  Tak Bisa Ke Lain Hati,  Kamulah Satu-satunya,  Cinta kan Membawamu dan banyak lagi.

Lagu -lagu KLA Project juga saya suka. Syairnya indah dan puitis, tapi tidak cengeng.  Contohnya lagu Dinda  di Mana,  Terpurukku Di Sini,  Negeri di Atas Awan dan Yogyakarta.  

Untuk lagu yang terakhir , adalah lagu yang paling saya suka hingga saat ini. Lagu  Yogyakarta selalu mengingatkan perjuangan anak saya yang kuliah di UGM.   Yogyakarta selalu membangkitkan rasa rindu.  Pada keramahan,  kehangatan juga keakraban kota Yogyakarta.  

Beberapa kali saya ke Yogyakarta untuk menjenguk anak saya. Tapi sejak anak saya lulus dan disusul dengan pandemi ini saya belum berani lagi ke sana.  

Terakhir saya ke Yogyakarta adalah saat wisuda anak saya.  Saat itu saya dan anak-anak masih sempat jalan-jalan makan soto di sekitar Lempuyangan.  Sebuah kenangan yang begitu manis. 

Wisuda di Yogyakarta,dokpri
Wisuda di Yogyakarta,dokpri
Memutar lagu-lagu kenangan satu persatu selalu membuka kembali ingatan tentang masa lalu.  Yang manis ataupun sedih.  

Sometimes it  takes only one song to bring back a thousand memories.  Bagaimana pendapat sahabat Kompasiana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun