“Ratih, takkan pernah kita lihat di dunia ini, ia telah meninggalkan kita semua, ia telah berpulang.” Wak Garot menangis, ia segera masuk kembali ke dalam ruang persalinan, ia menangis sejadi-jadinya di dalam ruangan agar tak terdengar oleh warga. Warga yang masih bahagia, kini merasa terheran-heran antara percaya dan tidak percaya. Tanda ucapan selamat itu kini layu kering tak berhasrat seakan-akan turut bersedih karena Ratih, kembang desa kampung tersebut, takkan pernah ada lagi. Sementara di sisi lain bayi mungil yang mereka beri nama Clara Clark itu lahir. Ya , aku Clara Clark seorang bayi penebus nyawa seorang ibu dilahirkan.
***
“Denger yah Cit, Aku harus pergi kesana, bodo amat ada monster raksasa sekalipun aku ga takut, aku akan menyusuri lorong yang gelap itu, apapun resiko yang harus aku tanggung, aku siap Cit. Ga usah ngelarang larang aku.” aku berkata setengah berteriak pada Citra.
“Heh, lo pikir lo punya nyawa berapa, lo harus inget ma diri lo.” mata Citra semakin membesar , menandakan ia berkata dengan serius.
“Cit, ada Allah yang akan selalu ngelindungin aku, aku cuma takut sama Allah, kamu pikir aku bakal diem terus selama ini, kalo aku yakin disini ada orang selain kita? Cukup teman kita Desal yang terluka, jangan sampai semua dari kita menjadi korban orang misterius itu, kamu pikirkan kita semua.”
“Gue tau lo itu pemberani, Gue ngerti apa yang lo mau, tapi lo cewe, gue gasetuju lo harus pergi nyusurin rumah sakit yang uda tua ini sendirian, lo punya masadepan, gue cuma takut lo knapa-napa.”
“Apa kamu kira Desal ga punya masa depan, kamu ga punya masa depan? Cokro dan semua teman-teman koas kita ga punya masa depan? Tinggal selangkah ko kita bakal jadi dokter dan kamu ga usah khawatirin aku, kamu disini cukup jagain Desal yang udah terluka.” nadaku semakin tinggi.
“Aku ga punya waktu untuk ngobrol ma kamu.” aku sambung perkataanku sesaat sebelum Citra membuka mulutnya. Dan aku terus berlari menuju lorong rumah sakit yang gelap itu. Citra hanya bisa melihatku dari tempatku berdiri semula, nampaknya ia telah pasrah dengan keputusanku.
Aku harus kuat, apapun resiko yang aku tanggung, aku siap, demi teman-teman yang selama ini ada bersamaku, aku akan terus cari tahu siapa orang yang selama ini menganggu setiap malam kami ketika kami sedang bertugas. Desal, temanku, ku temukan tergeletak pingsan di taman depan rumah sakit Mitra ini, Cokro, ia menjadi aneh , tingkah lakunya benar-benar seperti orang bingung setelah menghilang dua hari di rumah sakit ini, ada apa dengan semua ini, aku harus cari tahu. Ya Allah, ku mohon lindungilah aku dalam mencari kebenaran ini.
Aku terus berlari, melewati lorong yang panjang, kadang berkelok-kelok dan sungguh membingungkan. Suasana malam itu gelap sekali, sudah pukul 10 malam lebih namun aku tetap berada di sini, melewati gangsal demi gangsal, walau ku tak sendiri, ditemani sedikit cahaya temaram dari rumah sakit tua ini dan beberapa petugas malam yang hilir mudik mencari angin malam setelah suntuk melayani pasien yang jumlahnya banyak sekali, tanpa terasa air mata ini pun menemani pelarian panjangku, sekali kali ku seka air mata yang terus membuat basah jilbab lebarku ini, gamisku yang sempit ku tarik ke atas agar langkahku semakin lebar. Niatku yang kuat untuk menemukan siapa yang melakukan ini semua begitu kuat, pikiran itu terus melayang membawaku terus berlari ke gangsal 2, lorong yang ku yakini dimana semua malapetaka bermula.
Aku sekarang berada di sini, gangsal dua, sebuah lorong yang terkesan sangat berbeda dari lorong-lorong lainnya, sangat gelap, penerangan yang ada hanya sedikit dan sama sekali tak ada penjaga yang bertugas. Kucing yang terkadang berlari diatas atap lorong yg terbuat dari seng ini begitu gaduh berkejarkejaran beradu mencari mangsa, terkadang jatuh dari atap muncul kehadapanku dan kemudian berusaha naik kembali ke atas atap dengan susah payah, berkejaran kembali dan begitu seterusnya. Gangsal dua ini begitu rapuh, tak terawat, lantainya memunculkan kesan tidak terurus dan taman yang penuh dengan sampah. Siapakah yang bermalam pada gangsal paling kotor di rumah sakit ini. Aku semakin bertanya tanya. Aku berjalan selangkah demi selangkah, namun langkah ini rasanya semakin kecil, ku akui nyaliku kian menciut, angin malam yang begitu dingin mengetarkan bulu kuduku dan merapatkan jemariku. Aku tak membawa apapun kecuali keberanian atas nama Allah di tempat ini dan tiba-tiba pikiran yang tak jelas kembali berintuisi begitu nisbi, aku melangkah melihat kanan kiri lalu terus melangkah begitu rapat menyusuri gangsal 2, sendirian, keringat dingin terus keluar senada dengan detak jantungku yang semakin kuat, hanya istigfar yang terus kulantunkan. Aku terus mencari tanda-tanda kehidupan pada gangsal dua ini, tapi tak ku temukan sama sekali, yang ku temukan hanyalah suasana sepi yang begitu kuat. Akhirnya ku lewati ruang pertama pada lorong, aku terus berjalan. Tiba-tiba lampu pada gangsal berkedap-kedip, mati, hidup dan begitu seterusnya sehingga ku yakin bahwa lampu-lampu itu telah mati sekarang. Hatiku semakin tidak tenang, aku sendiri dalam kegelapan yang pekat. Aku merasa begitu khawatir, hanya remang-remang yang aku lihat. Bagaimana aku bisa mencari dengan kegelapan yang pekat ini.