Mohon tunggu...
Sulistyowati Bambang
Sulistyowati Bambang Mohon Tunggu... -

Ibu 4 orang anak, Nenek 2 Orang Cucu Pekerja sosial dibidang kesehatan 28 tahun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

MASIH PENTINGKAH HARI IBU?

13 Januari 2011   21:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:37 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata pekerjaan sebagai Ibu di Indonesia tidak terlalu dihargai sebagaimana mestinya.Bahkan kita-kita para Ibupun tidak terlalu bersemangat untuk mengajarkan kepada anak-anaknya untuk kelak bisa menjadi Ibu yang baik. Bisa jadi karena IBU dianggap sebagai sebuah kemestian yang harus diterima seorang Wanita jika nanti mereka melahirkan anak-anak sendiri, anak-anak akan belajar dengan sendirinya menirukan apa yang dilakukan ibu mereka.Sebuah tanggung jawab alamiah yang tidak perlu dipermasalahkan, apalagi harus diperingati setahun sekali. Dan yang lebih menyedihkan seakan-akan ada kesan menjadi Ibu kok nggak ikhlas pakai minta dihargai segala.

Sebuah percobaan saya lakukan dengan memasang surat – suratmemperingati Hari Ibu di Face Book, keingin tahuan yang sebetulnya agak kelewatan untuk mencari tahu sampai sejauh mana sebuah keluarga memandang dan mendudukkan seorang Ibu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ternyata surat-surat dari anak-anak yang biasanya saya simpan sendiri sebagai koleksi pribadi tidak terlalu banyak menimbulkan minat untuk mengajak merayakan Hari Ibu.

Jujur harus saya akui walaupun saya sangat mencintai Ibu saya, dan betapa saya menghormati beliau dan selalu mendo’akan agar beliau senantiasa sehat dan bahagia di masa tuanya, masih sulit untuk saya mengatakan betapa saya mencintai beliau secara lisan, kadang-kadang memberikan hadiah saja tak cukup untuk menunjukkan betapa saya mencintainya, setiap saya mencium tangannya dan mencium kedua pipinya ingin sekali saya mengatakan “ Aku sayang Ibu” atau “ I Love You Ibu” tapi rasanya sangat sulit dan mulut rasanya terkunci. Itu pula yang mendorong saya untuk mengatakan kepada anak-anak betapa pentingnya mengucapkan kata sayang kepada orang yang kita cintai secara verbal atau secara lisan, sebab mendengar secara langsung bahwa kita dicintai rasanya sangat bahagia. Lebih bahagia dari mendapat kado apapun. Sebetulnya betapapun berat tugas seorang Ibu akan menjadi ringan jika tugas itu dihargai dengan tulus, apalagi jika disertai ucapan sayang, rasanya pekerjaan berat yang sudah kita lakukan untuk mereka dan capai yang dirasakan langsung hilang saat kita mendengar anak-anak mengucapkan betapa mereka mencintai kita.

Bagi orang timur yang sangat terkenal kehalusan budi bahasanya, mengutarakan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan adalah sebuah aib, apalagi jika perasaan itu berhubungan dengan lawan jenis, ibaratnya jangansampai seorang wanita mengutarakan perasaan cintanya lebih dulu kepada seorang pria. Tata krama yang sangat menjunjung tinggi unggah-ungguh menyebabkan seorang yang lebih muda atau lebih rendah derajadnya menggunakan bahasa yang lebih sopan dan halus kepada orang yang lebih tua atau lebih terhormat. Sementara orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukkannya bisa berbahasa rendah/ngoko kepada yang lebih muda. Hal ini pula yangmenyebabkan hubungan antara anak dan orang tua menjadi kurang akrab dan kurang mesra karena adanya unggah-ungguh ini.

Membiasakan untuk mengucapkan kata Sayang antara anak dan orang tua ternyata mampu membuat hubungan anak dan orang tua menjadi lebih juicy, lebih Lumer dan lebih mesra, ini juga akan membuat masing-masing dari kita akan selalu mencari perbendaharaan kata yang manis untuk melakukan sebuah percakapan, lebih saling mampu menghargai dan lebih mampu untuk memahami satu sama lain, apalagi jika setiap akan berpisah selalu ada pelukan dan kecupan sayang serta ucapan “I Luv U”.

Hubungan anak dan orang tua yang terlalu kaku, lugas bahkan crunchy sering meledak-ledak seperti yang kita lihat di banyak sinetron, akan membuat suasana rumah menjadi kurang homey bagi anak-anak. Bisa jadi kita tidak tahu apa yang sedang dialami anak-anak di sekolah, kesulitan yang mereka hadapi dalam pergaulan sehari-hari sampai masalah yang mungkin terlalu berat untuk mereka tanggung sendiri. Bisa jadi karena kita memang tidak tahu atau tidak mau tahu karena sang anak memang malas untuk berbagi dengan orang tuanya, sebab mereka berpikir tidak ada gunanya membicarakan masalah mereka dengan orang tuanya. Yang ada hanya setelah prestasi belajar menurun, anak-anak menjadi liar para orang tua baru kelimpungan.

Dalam bulan Desember tahun 2010 ini kita mendengar ada seorang anak SD umur 8 tahun yang mati gantung diri setelah menerima raport, kejadian anak-anak yang melakukan bunuh diri ini bukan yang pertama, beberapa tahun yang lalu ada seorang anak bunuh diri karena tidak bisa bayar SPP. Dan masih banyak kasus bunuh diri yang tak sempat diberitakan. Bayangkan anak 8 tahun dan terkenal pandai bisa melakukan bunuh diri, ini sungguh sebuah gambaran yang sangat buruk tentang hubungan anak dan orang tua.

Bukan bermaksud menggurui, saya hanya mengajak seluruh Ibu di negeri ini untuk mulai mengatur Mainset yang benar tentang kedudukkan Ibu sebagai pilar utama dalam mendidik para generasi penerus kita untuk menjadi generasi yang lebih baik dari kita.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun