Beberapa minggu belakangan ini ada sebuah isu lama yang kembali mencuat dan sangat menarik untuk disimak. Yaitu para obligor BLBI yang telah menerima Surat Keterangan Lunas (SKL) namun dianggap masih berhutang kepada pemerintah. Kenapa masih berhutang? Karena pemerintah dianggap telah melakukan salah kalkulasi (taksir) terkait nilai aset yang diserahkan oleh para obligor kepada pemerintah, dalam upayanya melunasi hutang.
Menurut logika gue, kok agak aneh ya? Misalnya gini; gue berhutang kepada A sebesar 100 ribu rupiah, kemudian gue berniat untuk melunasi hutang tersebut dengan memberikan A sebuah batu cincin (yang gue anggap nilainya setara dengan 100 ribu rupiah). Kemudian setelah diperiksa oleh A, dia pun menyatakan bahwa nilai batu cincin tersebut sesuai dengan jumlah hutang yang pernah dia kasih ke gue. Lalu terjadilah sebuah proses akad pelunasan hutang (SKL), dan kita berdua sama-sama bersepakat bahwa hutang sudah dinyatakan lunas.
Kemudian setelah beberapa tahun kemudian, ada salah seorang sanak saudara pihak A yang datang ke gue dan bilang bahwa batu cincin yang dulu gue kasih untuk si A saat ini nilainya tidak sesuai dengan jumlah hutang yang pernah gue pinjam (100 ribu rupiah). Disinilah letak anehnya.
Pertama, kenapa hal tersebut baru dipermasalahkan setelah sekian tahun kemudian. Kedua, bukankah gue sudah memiliki itikad baik untuk melunasi hutang dengan memberikan si A salah satu aset yang gue anggap nilainya setara/sama dengan jumlah hutang, dan A pun setuju dan menganggap bahwa hutang gue sudah lunas. Ketiga, bukankah sudah bukan tanggung jawab gue lagi kalau misalkan harga batu cincin tersebut kini (karena tren batu cincin sudah tidak lagi booming) nilainya menjadi turun?
Pahamkan maksudnya?
Harusnya si A langsung menjual batu cincin tersebut pada saat tren batu cincin masih booming, sehingga nilainya setara dengan jumlah hutang yang dia pinjamkan, atau bahkan mungkin lebih. Kalau di kemudian hari ada yang mempermasalahkan, berarti orang tersebut telah menciderai nilai intelektualitas sang pemberi hutang (A), karena dalam perjanjian/akad pelunasan hutang, menurut perhitungan matematis dari A, bahwa aset yang diberikan kepadanya sudah sesuai dengan jumlah nilai hutang.
Sekarang kita kembali pada permasalahan para obligor BLBI yang dianggap masih belum melunasi hutang karena nilai aset yang dulu diberikan kepada pemerintah, hari ini nilainya tidak sesuai dengan jumlah hutang. Ini kan sama saja kita mau bilang, bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai satu-satunya lembaga negara yang bertugas untuk memberi taksiran nilai aset tersebut tidak kompeten dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Ya kalau sudah tidak kompeten lagi harusnya lembaga negara tersebut dibubarkan saja. Simple!
Gue sih percaya BPK yang berisi orang-orang pilihan dan cerdas dalam hitungan matematis masih mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Buktinya sampai hari ini lembaga negara tersebut masih eksis kan? Kemudian terkait ada sejumlah obligor yang dianggap masih belum melunasi hutang BLBI walaupun sudah diberikan SKL, bukankah agak sedikit gak fair ya? Orang sudah bayar hutang tapi kok masih dikejar-kejar seolah belum membayar dan tidak memiliki itikad baik. Kalau mau mengejar, mending fokus saja untuk kejar beberapa kasus yang belum selesai, korupsi kondensat misalnya.
Menurut gue sekarang ini kita justru harus memberi applause kepada keempat obligor yang memiliki itikad baik tersebut. Pekerjaan rumah selanjutnya, yaitu mengejar sisa ke-22 obligor lain yang belum ber-itikad baik dan belum menyelesaikan tanggung jawabnya kepada pemerintah.
Dari salah satu sumber berita yang gue kutip, ada satu pernyataan menarik dari Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, Isa Rahmatawarta. Bahwa DJKN sendiri mencatat asetnya seperti yang disampaikan oleh BPPN. Bahwa sudah dibayar aset dan cash yang sesuai dengan kewajibannya. Makanya terbit SKL. Pada prinsipnya SKL sudah diterbitkan dan sudah sesuai dengan syarat dan ketentuan BPPN untuk menerbitkan SKL.