Oleh YUKIE H. RUSHDIE
DI awal babak kedua Final Leg I Piala AFF, yang berlangsung di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, kiper Indonesia, Markus Horison, menghampiri wasit dan memprotes sinar laser berwarna hijau yang mengganggu konsentrasinya. Wasit mengapresiasi protes tersebut, lalu menghentikan pertandingan untuk sementara. Waktu itu, muncul kekhawatiran, jangan-jangan protes itulah yang justru akan mengganggu konsentrasi ritme permainan tim Indonesia yang tengah meningkat, sekaligus memicu sebuah antiklimaks.
Kekhawatiran itu, ternyata, menjadi kenyataan. Beberapa menit setelah pertandingan dilanjutkan, Malaysia membobol gawang Markus tiga kali, hampir secara berturutan. Konsentrasi Firman Utina cs seolah lenyap entah ke mana. Maman Abdurrahman dan Hamka Hamzah, dua pilar penting di benteng pertahanan, malah jadi kelihatan panik seperti melihat ancaman tsunami.
Ada satu simpul yang menarik di sini, yakni tentang pemahaman terhadap makna "protes". Aksi sebagai ekspresi ketidakpuasan itu memang bisa menjadi positif selama berfungsi untuk memprovokasi status quo dari pihak yang bersitentang dengan si pemrotes. Tapi, kalau yang terjadi itu malah sebaliknya, yakni merugikan diri sendiri, berarti ada sesuatu yang keliru di sana.
***
Dulu, jauh sebelum jadi presiden, Kiai Ciganjur (almarhum) Abdurrahman "Gus Dur" Wahid sempat berpetuah, bahwa kita harus "tinggalkan sikap protes dan cari budaya politik baru!" Dalam pemahaman tokoh Nahdlatul Ulama itu, kita boleh merasa tidak puas, kita boleh merasa tersandung-sandung, tapi protes jangan. Telan saja semuanya itu ibarat kita menelan permen. Bukankah yang namanya pemerintah itu, di mana pun juga (kecuali -- mungkin -- di dasar laut), selalu berhasrat besar untuk memantapkan kekuasaannya lewat ajaran yang tertulis di buku atau di batu-batu?
Lagipula, apa sih sebenarnya arti "protes" itu? Bukankah itu cuma sebuah istilah yang berasal dari mitologi Yunani Purba, tatkala seorang jagoan memimpin gerombolan Thessalian melabrak Troya, yang hasilnya -- justru -- sekadar mengambil nyawa dari badannya sendiri? Dongeng itu ada diangkat oleh penyair Homer dalam dia punya karya yang masyhur, Iliad. Namanya juga dongeng, tentu bisa berkepanjangan. Seri berikutnya mengisahkan bahwa -- begitu mendengar lakinya mati -- sang istri, yang bernama Laodamia, mohon kepada dewa-dewa yang berbaring di atas awan agar dia diberi kesempatan untuk menjenguk si mendiang sekitar tiga jam, kira-kira sama dengan waktu jenguk yang diperkenankan buat tahanan di penjara dunia. Permohonan ini diluluskan. Itu adalah perihal protes di zaman kuna.
Protes yang lebih ke mari, tentunya adalah yang berkaitan dengan perlawanan terhadap gereja Katolik Roma. Karena (mungkin) belum mendengar ilmu Kiai Gus Dur tadi, di abad pertengahan muncul John Wycliffe dari Oxford, menyusul Jan Hus dari Praha, lalu Martin Luther dengan poster "95 Tesis"-nya yang ditempel di pintu gereja Wittenberg (Jerman) tahun 1517, yang kemudian dikembangbiakkan oleh John Calvin, Huldrich Zwingli, John Knox, dan lain-lain orang yang sama sekali tak punya kesempatan menjenguk Ciganjur. Berhubung sekte protes ini berkembang tidak ketulungan banyaknya (tahun 1950 di AS saja ada 250 macam), maka yang punya "hobi" sama itu pun bergabung dalam "Gerakan Ekonomi", seperti para petembak bergabung dalam Perbakin.
Bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian, mulai hari ini kita tidak perlu protes-protesan lagi, karena toh protes itu tidak ada gunanya. Begitulah, kira-kira, isi "ilmu" Gus Dur waktu itu. Menurutnya, yang penting itu, yang pendidik ya mendidik sajalah. Yang agamis, urus soal agama sajalah. Yang ingin penduduk sehat, bikin rumah sakit sajalah, karena toh sekarang ini rumah sakit itu sudah sama dengan industri. Stop protes. Karena protes itu berbau politik. Padahal, sekarang ini politik sudah menjadi panglima. Jika tempo hari istilah "politik sebagai panglima" dimaki-maki karena identik dengan golongan, maka sekarang ini politik itu adalah "panglima"-nya panglima.
Tahun 1966, di Sidang MPRS, Nono Anwar Makarim dan Adnan Buyung Nasution menjerit hingga hadirin terperanjat: "Mesti ada right to dissent!" Ya, hak beda pendapat yang harus disampaikan bukan sekadar sambil senyum-senyum, tapi juga mengandung makna protes. Karena, jika beda pendapat itu tidak diladeni, apa lagi yang layak dilakukan selain protes? Bukankah istilah dissenters pun berkaitan dengan protes yang antipati terhadap kebijaksanaan gerejani yang diletakkan Ratu Elizabeth I dari Inggris? Kaum Presbyterian, Congregationalist, Baptist, dan Quaker, semua itu dimasukkan ke dalam botol yang namanya dissenters.
Zaman sudah berjalan. Model sepatu juga sudah berlainan. Dulu hak rendah kini hak tinggi. Tapi, tetap saja selalu ada kesamaan prinsip dasarnya. Sepatu, di zaman apa pun, tetap saja dipakainya di kaki, tidak jadi berpindah-pindah ke tangan, kepala, atau perut. Dulu pun, pertengahan abad ke-19, di daerah pesisir utara Jawa Tengah ada seseoran bernama Haji Mohamad Rifangi, kelahiran Kendal, tahun 1786. Menurut Prof. Sartono Kartodirdjo di buku Protest Movements in Rural Java, Haji Rifangi itu terkenal hobi protes, gencar menyerang, khususnya para pejabat keagamaan gubernemen. Tak heran kalau Rifangi beberapa kali diusulkan, antara lain oleh Bupati Batang, untuk disingkirkan. Dan benar: di tahun 1859, pengusik itu dibuang ke Ambon.